Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Akbar Himawan Buchari, mengapresiasi langkah pemerintah yang berhasil menurunkan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap produk Indonesia dari 34 persen menjadi 19 persen. Ia menilai, capaian ini merupakan hasil dari diplomasi ekonomi yang intensif selama berbulan-bulan.
“Sejak April, pemerintah sudah all out agar tarif dari Amerika Serikat tidak terlalu tinggi. Upaya ini dilakukan secara terpadu oleh hampir seluruh menteri terkait, dengan Presiden Prabowo Subianto sebagai orkestratornya,” kata Akbar dalam keterangan tertulis, Rabu (16/7/2025).
Menurutnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjadi ujung tombak dalam negosiasi dengan pihak Washington. Namun, yang tak kalah menarik adalah strategi dari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang secara terbuka menyatakan di hadapan DPR bahwa Indonesia akan membatalkan rencana impor minyak dan gas dari AS jika tarif tidak diturunkan.
“Saya baru berbincang dengan Bang Bahlil. Beliau cerita bahwa ancamannya benar-benar didengar oleh pihak Amerika. Hasilnya, mereka akhirnya melunak dan tarif diturunkan menjadi 19 persen,” ujar Akbar.
Bandingkan dengan Negara ASEAN, Indonesia Lebih Ringan
Meski masih tergolong tinggi, tarif 19 persen ini dinilai lebih ringan dibandingkan negara-negara ASEAN lain. Akbar menyebut Laos menghadapi tarif 40 persen, Thailand 36 persen, Malaysia 25 persen, dan Vietnam 20 persen.
Padahal, defisit perdagangan AS dengan Indonesia hanya sekitar USD 19 miliar. Sementara itu, Airlangga telah menyiapkan paket pembelian komoditas dan investasi dari AS senilai USD 34 miliar.
Menurut Akbar, nilai ini seharusnya mampu mengubah neraca perdagangan AS dari defisit menjadi surplus.
Tarif Tinggi Ancam Industri Padat Karya
Akbar menekankan pentingnya mendorong penurunan tarif lebih lanjut. Sebab, industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, perikanan, dan furnitur sangat bergantung pada pasar Amerika.
“Ekspor pakaian ke Amerika mencapai 60 persen, furnitur 59 persen, produk olahan ikan 56 persen, dan alas kaki 33 persen. Tarif yang tinggi bisa menurunkan permintaan, mengguncang ekspor, dan mengancam kelangsungan usaha,” jelasnya.
Tantangan Industri dalam Negeri: PMI Terus Melemah
Di tengah tantangan global yang belum mereda, sektor manufaktur dalam negeri juga menghadapi tekanan. Data terbaru menunjukkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia turun ke level 46,9 pada Juni 2025, dari 47,4 di Mei, menandai kontraksi selama tiga bulan berturut-turut dan menjadi yang terendah sejak Agustus 2021.
Tak hanya itu, pelaku industri juga dibebani oleh naiknya biaya produksi akibat lonjakan harga energi, fluktuasi nilai tukar terhadap bahan baku impor, dan kenaikan upah minimum yang belum diimbangi peningkatan produktivitas.
“Situasi ini membuat banyak pelaku usaha memilih bersikap wait and see, fokus pada efisiensi, dan menahan ekspansi,” pungkas Akbar.