Liputan6.com, Jakarta Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) terus menuai perhatian sehingga muncul desakan deregulasi. Desakan tersebut tidak hanya berasal dari industri hasil tembakau, tetapi juga dari sektor periklanan luar ruang dan pedagang tradisional yang menghadapi penurunan pendapatan signifikan.
Regulasi yang membatasi iklan dan promosi produk tembakau ini memiliki efek domino yang luas. Industri periklanan luar ruang, yang selama ini mengandalkan pendapatan dari iklan rokok, kini tercekik. Larangan pemajangan iklan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak dianggap terlalu ketat dan tidak relevan untuk menekan prevelansi perokok.
Selain itu, terdapat berbagai pasal yang sulit diimplementasikan di lapangan karena berpotensi menimbulkan pemahaman yang beragam, termasuk Pasal 449. "Aturan radius inilah yang bermasalah dan akan mematikan bisnis kami, sehingga kami meminta pembatalan pasal tembakau yang ada di PP 28/2024," ujar Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Media Luar-Griya Indonesia (AMLI), Fabianus Bernadi dalam keterangan tertulis, Rabu (30/4/2025).
Fabianus mengungkapkan bahwa pendapatan iklan luar ruang telah menurun sekitar 50% sejak isu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) muncul pada akhir 2023, sebagai aturan turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
"Sebagai petunjuk pelaksanaan dari UU Kesehatan, kami sangat terkejut ketika Rancangan PP itu berisi larangan total untuk semua iklan promosi. Kami di asosiasi periklanan dibuat syok. Lalu, kami akan beriklan apa?" imbuhnya.
Setelah PP 28/2024 diterbitkan pada September 2024, situasi kian memburuk. Banyak perusahaan reklame hanya mampu mempertahankan sekitar 20% dari volume bisnis sebelumnya. Fabianus bersama 11 asosiasi periklanan telah menyampaikan keberatan kepada Menteri terkait dan Presiden, namun tidak membuahkan hasil signifikan.Industri periklanan luar ruang menilai bahwa regulasi sebelumnya, PP 109/2012, sudah cukup ketat. Namun, PP 28/2024 dianggap tidak memberikan ruang bagi industri untuk bertahan.
Dampak Negatif
Pedagang tradisional juga merasakan dampak negatif dari penerapan peraturansehingga mengalami kerugian yang signifikan. Sekjen DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrahman, mengakui adanya penurunan omzet hingga 30% bagi pedagang rokok di pasar tradisional. Penurunan daya beli masyarakat secara umum dan maraknya penjualan daring juga turut berkontribusi.
Mujiburrahman menyoroti perubahan perilaku konsumen yang kini lebih memilih membeli rokok secara sembunyi-sembunyi, mengarah pada peningkatan penjualan rokok ilegal. "Penjualan rokok tidak sepenuhnya menurun, hanya berganti cara belinya menjadi lebih tertutup," katanya.
PP 28/2024 tidak hanya mengancam keberlangsungan industri periklanan dan pedagang tradisional, tetapi juga menggerus ekosistem yang melibatkan banyak lapisan masyarakat. Oleh karena itu, ia turut mendesak agar pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 dibatalkan. Sebab, bagi Mujiburrahman, regulasi yang adil harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak, terutama lebih dari enam juta pekerja yang terlibat dalam rantai sektor IHT.
Produsen Minta Dilibatkan Susun Roadmap Cukai Rokok
Sebelumnya, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta agar seluruh pemangku kepentingan atau stakeholders terkait industri hasil tembakau (IHT) dilibatkan dalam penyusunan Peta Jalan (Roadmap) Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) periode 2026-2029.
Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan menegaskan pentingnya keterlibatan pemangku terkait akan memastikan keseimbangan yang inklusif dan berkeadilan antara aspek kesehatan, tenaga kerja lHT, pertanian tembakau dan cengkeh, peredaran rokok murah yang tidak jelas produsennya dan penerimaan negara melalui Peta Jalan lndustri Hasil Tembakau 2026-2029.
Menurut dia, industri hasil tembakau legal saat ini situasinya tidak sedang baik-baik saja, oleh karena itu GAPPRI mendorong pemerintah tidak menaikkan tarif cukai HJE tahun 2026-2028 agar IHT bisa pulih terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal dan produsennya.
"Selama ini pungutan negara terhadap IHT kretek sudah mencapai 70 - 82 persen pada setiap batang rokok legal," katanya dikutip dari Antara, Selasa (28/4/2025).
Dia menyatakan, hambatan untuk kepastian berusaha IHT legal adalah adanya kebijakan cukai yang melemahkan daya saing IHT dan kenaikan cukai yang eksesif serta fluktuatif sehingga tidak ada kepastian usaha.
Henry mencontohkan, kebijakan waktu pengumuman Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), kerapkali pada akhir tahun, sehingga menyulitkan dalam proses perencanaan bisnis.
"Keberadaan roadmap IHT diharapkan akan memberikan kepastian berusaha, iklim usaha yang adil, inklusif dan kondusif bagi sepanjang rantai pasok IHT nasional," ujarnya lagi.
Roadmap IHT
Roadmap IHT, katanya lagi, nantinya akan mengatur berbagai aspek, mulai dari tenaga kerja, nafkah petani tembakau dan cengkeh, devisa serta pertumbuhan ekonomi.
Dia menyatakan, kebijakan kenaikan cukai multi years periode 2023-2024 yang rata-rata kenaikannya 10 persen dinilai terlalu tinggi mengakibatkan rokok terutama golongan I mengalami trade fall, di sisi lain, situasi itu dimanfaatkan oleh produsen rokok murah yang tak jelas prosesnya untuk melebarkan pasar.
"Kebijakan 2023-2024 di atas nilai keekonomian, sehingga target penerimaan selalu tidak tercapai," ujar Henry Najoan.
Selain itu, GAPPRI mengingatkan pemerintah agar tidak melakukan penyederhanaan tarif (simplifikasi), mengingat dampaknya yang justru lebih besar dibanding manfaatnya.
Simplifikasi tarif, katanya lagi, justru akan membuat harga produk tembakau naik tinggi, yang membuat sulit bersaing dengan rokok yang tak jelas proses dan produsennya.