Liputan6.com, Jakarta - Amazon mengumumkan robot ke-1.000.000 miliknya kini telah bergabung ke dalam armada global pada Senin, 30 Juni 2025, yang akan didukung oleh model kecerdasan buatan generatif terbaru bernama "DeepFleet". Pengumuman ini datang di tengah tren pemangkasan tenaga kerja di sektor teknologi dan kekhawatiran soal otomatisasi.
Vice President Amazon Robotics, Scott Dresser menyatakan dalam siaran pers pencapaian satu juta unit robot memperkokoh posisi Amazon sebagai produsen dan operator robotika seluler terbesar di dunia. Armada robot ini tersebar di lebih dari 300 pusat pemenuhan pesanan di seluruh dunia. Demikian mengutip dari CNBC, Kamis (3/7/2025).
DeepFleet akan bertugas mengoordinasikan pergerakan seluruh robot di dalam gudang, sehingga waktu tempuh armada dipangkas hingga 10% dan proses pengiriman paket menjadi lebih cepat serta efisien biaya. “Dengan DeepFleet, kami menargetkan pengiriman yang lebih andal dan hemat sumber daya,” ujar Dresser.
Sejak pertama kali memperkenalkan robot di pusat gudangnya pada 2012 untuk memindahkan rak inventaris, Amazon terus mengembangkan kemampuan otomasi. Saat ini, ada robot yang mampu mengangkat beban hingga 1.250 pound (sekitar 568 kg) dan robot otonom yang menavigasi jalur pemrosesan dengan kereta dorong berisi pesanan pelanggan.
Tak berhenti di situ, Amazon juga menyiapkan robot humanoid bertenaga kecerdasan Buatan (AI) yang mampu meniru gerakan manusia. Dresser menyebutkan bahwa robot model ini kemungkinan akan mulai diuji coba di fasilitas milik Tesla pada akhir tahun, sebagai bagian dari kemitraan riset kedua perusahaan.
Langkah ekspansi robotika dan penerapan AI generatif ini menunjukkan ambisi Amazon untuk terus mengoptimalkan rantai pasokannya di tengah persaingan ketat e‑commerce dan tekanan biaya operasional.
Ketakutan Akan Keamanan Pekerjaan di Era Otomasi
Meskipun Amazon menegaskan, robot-robot bertenaga AI dirancang untuk bekerja berdampingan dengan karyawan seperti mengangkat beban berat dan menangani tugas-tugas berulang serta turut menciptakan peluang baru bagi operator garis depan untuk mengembangkan keterampilan teknis, kekhawatiran pekerja tentang risiko otomatisasi terus menguat.
Survei Pew Research yang diterbitkan pada Maret lalu menunjukkan ahli AI dan publik menilai pekerja pabrik sebagai kelompok yang paling rentan kehilangan pekerjaan akibat kemajuan teknologi.
Pernyataan Scott Dresser, Wakil Presiden Amazon Robotics, pusat pemenuhan generasi berikutnya di Shreveport, Louisiana, bahkan menambah 30% lebih banyak posisi di bidang keandalan, pemeliharaan, dan teknik, tampaknya dimaksudkan untuk meredam rasa cemas tersebut.
Namun, CEO Andy Jassy sendiri mengakui kepada CNBC peluncuran cepat AI generatif akan mengurangi jumlah orang yang mengerjakan tugas-tugas yang mulai diotomatisasi, dan dalam memo internalnya awal Juni ia memperkirakan tenaga kerja Amazon bisa menyusut seiring kemajuan teknologi.
Riwayat Pemangkasan Pekerjaan
Kekhawatiran itu juga diperburuk oleh riwayat pemangkasan staf di perusahaan teknologi besar. Amazon memangkas lebih dari 27.000 pekerjaan pada 2022–2023 dan terus melakukan pemangkasan terarah di berbagai unit bisnis.
Peringatan serupa datang dari CEO Shopify, Tobi Lutke, yang mengingatkan bahwa investasi besar-besaran dalam AI dapat berdampak pada perekrutan.
Data Layoffs.fyi mencatat bahwa 551 perusahaan teknologi memberhentikan sekitar 153.000 karyawan sepanjang tahun lalu, sementara Laporan Forum Ekonomi Dunia Februari 2025 mengungkap hampir setengah pengusaha AS berencana mengurangi tenaga kerja mereka karena AI.
Di satu sisi, otomatisasi menjanjikan efisiensi dan kecepatan yang lebih tinggi, tetapi di lain sisi, ia menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan keamanan pekerjaan dan peran manusia dalam rantai pasokan digital.