Liputan6.com, Jakarta Ancaman tarif impor 32 persen oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada akhirnya berubah menjadi kesepakatan 19 persen. Deal akhir tersebut dibarengi dengan komitmen tarif 0 persen bagi Indonesia untuk sejumlah barang impor dari AS, dan permintaan lain dari Washington DC.
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Yusuf mengatakan, Pemerintah RI telah menimbang matang-matang tawaran Trump tersebut. Dengan memposisikan negosiasi ini bukan sebagai perang tarif antara Indonesia vs Amerika Serikat, tapi kompetisi antara Indonesia dan negara-negara partner dagang AS lainnya.
Menurut dia, kesepakatan tarif resiprokal ini mungkin jadi kemenangan bagi ego Trump. Namun belum tentu untuk rakyat Amerika Serikat, lantaran barang-barang impor dari Indonesia jadi lebih mahal.
"Apalagi kalau barang-barang kita itu Amerika enggak punya kapasitas produksi atau minim, elastisitasnya rendah, bahan pokok misalnya. Jelas rakyat AS enggak menang lah," ujar dia kepada Liputan6.com, dikutip Sabtu (26/7/2025).
"Kita, on the other hand, di-nol-kan tarif malah bagus untuk rakyat kita. Apalagi barang-barangnya (yang impor dari AS) hampir semua bukan barang-barang yang kita punya produksi signifikan," dia menekankan.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran tersebut mengutarakan, Dewan Ekonomi Nasional memakai model Global Trade Analysis Project (GTAP) untuk membaca segala kemungkinan terkait permintaan Trump.
Pengenaan Tarif Resiprokal
Pasalnya, pengenaan tarif resiprokal dari Amerika Serikat kepada Indonesia tidak hanya berdampak kepada dua negara itu saja, tapi bisa menjalar ke sektor-sektor lain, bahkan ke negara lain. Oleh karenanya, Arief mengklaim model GTAP membantu pemerintah dan publik mengambil keputusan yang lebih bijak berdasarkan bukti, bukan tebakan.
Lewat perhitungan GTAP tersebut, Arief memproyeksikan itu bakal memberikan dampak positif terhadap neraca perdagangan dan berbagai variabel makro ekonomi lain, semisal konsumsi dan investasi.
Nilai positif itu muncul dari simulasi tarif AS ke negara lain yang lebih tinggi dari 19 persen. Hasilnya ditemukan, beberapa komoditas Indonesia bisa berkompetisi dan mendapatkan pangsa pasar (market share).
"Exercise terakhir kalau 32 persen kita masih negative GDP. Kalau 19 persen kita bisa udah positif, bisa sampai 0,5 persen GDP, tergantung skenario," pungkas Arief.
Kena Tarif Trump 19 Persen, Minyak Sawit RI Lebih Bersaing Lawan Malaysia
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengintip peluang meningkatnya daya saing minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ke pasar Amerika Serikat (AS). Terutama usai Indonesia dikenakan tarif impor 19 persen ke AS.
Menurutnya, pengenaan tarif Impor 19 persen buat produk asal Indonesia ke pasar AS ini akan menguntungkan, termasuk hasil pertanian dari dalam negeri. Apalagi, jika dibandingkan dengan Malaysia yang dikenakan tarif 25 persen, lebih tinggi dari Indonesia. Indonesia dan Malaysia menjadi kontributor terbesar minyak sawit dunia.
"Itu kita melihat peluang di situ, sisi lain yang sangat menguntungkan Indonesia. Yang pertama CPO. CPO kita, tarifnya kan Indonesia 19 persen, kemudian negara tetangga yang memegang CPO 80 persen di dunia, itu adalah Malaysia dan Indonesia, Malaysia 25 persen tarifnya," ucap Amran ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Menurutnya, peluang ini perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk merambah pasar global. Seperti diketahui, produk CPO Indonesia berpeluang mendapat tarif lebih rendah, bahkan mendekati nol persen, seiring proses negosiasi lanjutan yang masih berjalan.
Pada saat yang sama, produk CPO Indonesia bebas tarif masuk ke pasar Uni Eropa. Hal tersebut tertuang dalam kesepakatan dagang Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA).
"Artinya peluang ini harus dimanfaatkan dengan baik. Kemudian Indonesia dengan IEU CEPA, itu kita juga sudah tanda tangan. Tentu CPO kita juga di sana baik harganya. Jadi kita gunakan dengan baik, ini sangat bagus," sebutnya.
RI Lanjut Negosiasi
Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyebut negosiasi tarif impor dengan Amerika Serikat (AS) masih berlanjut. Ada peluang sejumlah komoditas strategis Indonesia dikenakan tarif di bawah 19 persen bahkan 0 persen.
Negosiasi akan dieratkan pada komoditas sumber daya alam yang tidak diproduksi di Negeri Paman Sam. Misalnya, kelapa sawit, kakao, hingga beberapa komponen industri.
"Produk-produk itu antara lain kelapa sawit, kopi, kakao, produk agro, dan juga produk mineral lainnya termasuk juga komponen pesawat terbang dan juga komponen daripada produk industri di kawasan industri tertentu seperti di free trade zone," kata Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (24/7/2025).