Liputan6.com, Jakarta - Jika saat ini CEO Nvidia Jensen Huang adalah seorang mahasiswa, ia mengatakan akan fokus pada ilmu fisika.
Dalam kunjungan ke Beijing pada Rabu lalu, CEO Nvidia Jensen Huang mendapat pertanyaan menarik dari seorang jurnalis yang memintanya membayangkan dirinya sebagai sosok muda berusia 22 tahun yang baru lulus pada 2025, tetapi tetap memiliki ambisi yang sama seperti sekarang ini. Jurnalis tersebut ingin tahu, jika dalam posisi itu, apa yang akan Huang pilih untuk difokuskan di masa kini.
Menanggapi hal itu Huang menjawab, "Untuk Jensen muda yang berusia 20 tahun dan baru lulus sekarang, dia mungkin akan memilih bidang ilmu fisika ketimbang ilmu perangkat lunak," ujar dia seperti dikutip dari CNBC, Sabtu (19/7/2025).
Ia juga menambahkan dirinya dulu lulus kuliah dua tahun lebih awal, tepatnya saat berusia 20 tahun.
Huang meraih gelar sarjana teknik elektro dari Oregon State University pada 1984, kemudian melanjutkan pendidikan pascasarjana di bidang yang sama di Stanford University dan lulus pada 1992, menurut profil LinkedIn-nya.
Tak lama setelah itu, pada April 1993, Huang bersama dua rekannya, Chris Malachowsky dan Curtis Priem, mendirikan Nvidia di sebuah restoran Denny’s di San Jose, California.
Di bawah kepemimpinannya sebagai CEO, Nvidia berkembang pesat menjadi perusahaan semikonduktor paling berpengaruh di dunia. Bahkan, pekan lalu, Nvidia mencetak sejarah sebagai perusahaan pertama yang mencapai valuasi pasar senilai 4 triliun dollar, menjadikannya perusahaan publik dengan valuasi paling tinggi saat ini.
Hal ini merupakan pencapaian monumental yang menandakan betapa besar dan berpengaruhnya Nvidia di pasar global, khususnya dalam bidang teknologi chip dan AI.
Optimisme Huang Terhadap Masa Depan AI
Jensen Huang meski tidak menjelaskan secara rinci mengapa ia akan memilih ilmu fisika jika kembali menjadi mahasiswa saat ini, pendiri Nvidia tersebut sangat optimis terhadap konsep yang ia sebut sebagai "Physical AI" atau apa yang ia sebut juga sebagai “gelombang selanjutnya” dalam perkembangan kecerdasan buatan.
Dalam 15 tahun terakhir, dunia telah melalui berbagai fase dalam evolusi AI, jelas Huang di acara The Hill & Valley Forum di Washington, D.C., pada bulan April lalu, dilansir dari CNBC, Make it.
“AI modern mulai benar-benar dikenal sekitar 12 hingga 14 tahun lalu, ketika AlexNet muncul dan teknologi computer vision mengalami terobosan besar,” ujar Huang di forum tersebut.
AlexNet adalah model komputer yang diperkenalkan pada kompetisi 2012. Model ini menunjukkan mesin bisa mengenali gambar melalui teknologi deep learning, yang kemudian menjadi pemicu utama ledakan perkembangan AI yang kita kenal sekarang.
Gelombang pertama ini, kata Huang, dikenal sebagai "Perception AI", yaitu AI yang fokus pada kemampuan menangkap dan memahami data dari lingkungan sekitar, seperti penglihatan dan suara.
Kemudian, gelombang berikutnya adalah "Generative AI," di mana model AI tidak hanya mampu memahami makna dari informasi yang diterimanya, tetapi juga mampu mentransformasikannya menjadi bentuk lain, seperti teks dalam berbagai bahasa, gambar, kode, dan sebagainya.
Memasuki Era ‘Reasoning AI’
“Kita sekarang berada di era yang disebut ‘Reasoning AI’, di mana AI mampu memahami, menghasilkan sesuatu, menyelesaikan masalah, dan mengenali situasi yang belum pernah kita temui sebelumnya,” kata Huang.
Kecerdasan buatan, dalam bentuknya saat ini, sudah dapat memecahkan masalah menggunakan penalaran. AI modern tidak hanya sekadar menjalankan perintah, melainkan juga dapat melakukan penalaran logis untuk menemukan solusi berdasarkan pemikiran rasional.
“Reasoning AI memungkinkan kita menciptakan semacam robot digital. Kami menyebutnya agentic AI,” ujar Huang.
Konsep agentic AI ini kini menjadi pusat perhatian banyak perusahaan teknologi besar, seperti Microsoft dan Salesforce, karena potensinya sebagai tenaga kerja digital yang cerdas.
Namun ke depan, Huang melihat akan muncul gelombang baru yang lebih menantang dan revolusioner, yaitu Physical AI.
“Melihat ke depan, gelombang berikutnya adalah “Physical AI”. Gelombang berikutnya menuntut kita untuk memahami hal-hal seperti hukum fisika, gesekan, inersia, serta sebab-akibat,” ujar Huang.
Physical AI
Dalam paparannya di Washington, D.C, pada April lalu, Huang menjelaskan Physical AI menuntut pemahaman terhadap hukum-hukum fisika, seperti gesekan, inersia, serta hubungan sebab-akibat. Kemampuan bernalar secara fisik ini mencakup hal-hal seperti memahami bahwa benda tetap ada meski tidak terlihat (konsep object permanence), memperkirakan arah bola yang menggelinding, atau menghitung tekanan genggaman yang cukup untuk memegang benda tanpa merusaknya.
AI dengan pemahaman fisik semacam itu dapat diterapkan untuk mengenali kondisi dunia nyata, misalnya menyimpulkan ada pejalan kaki di balik kendaraan atau membantu robot memanipulasi objek secara akurat.
“Ketika Physical AI dimasukkan ke dalam bentuk fisik seperti robot, maka itulah robotika. Ini sangat penting bagi kita sekarang, karena kita sedang membangun banyak pabrik di seluruh Amerika Serikat,” kata Huang.
Ia juga berharap dalam satu dekade ke depan, pabrik-pabrik generasi baru akan sangat bergantung pada robot, sehingga bisa menjadi solusi terhadap krisis tenaga kerja yang terjadi di berbagai belahan dunia.