Liputan6.com, Jakarta - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun di bank-bank BUMN khusus untuk kredit sudah tepat, namun efektivitasnya menjadi pertanyaan.
"Tekad menyalurkan dana khusus ke kredit sudah tepat, tetapi efektivitasnya bergantung pada bagaimana kita mendesain pagar risiko, mengukur dampak, serta memastikan uang murah tidak tersedot ke zona nyaman kredit konsumtif," kata Achmad dalam keterangannya, Senin (15/9/2025).
Achmad mengatakan, permasalahannya bukan sekadar kekurangan dana, melainkan transmisi pembiayaan yang kurang menggigit. Ia menjelaskan, likuiditas perbankan relatif longgar rasio pendanaan terhadap kredit masih di kisaran delapan puluhan persen dan kualitas aset terjaga, namun laju pertumbuhan kredit belum sebanding dengan kebutuhan pemulihan ekonomi.
"Artinya, mesin ada tetapi pedal gas enggan diinjak. Dalam kondisi seperti ini, injeksi Rp 200 triliun ibarat menambah turbo pada mobil yang sedang ragu-ragu, dorongan ekstra bermanfaat bila jalan di depan jelas dan pengemudinya paham rute; jika tidak, tenaga besar justru meningkatkan risiko selip di tikungan," ujarnya.
Menurutnya, penempatan dana pemerintah Rp 200 triliun adalah peluang menggeser logika kredit dari “siapa cepat dia dapat” menjadi “siapa paling berdampak dia didukung”.
"Keberanian mengucurkan dana harus diiringi ketegasan rambu," imbuhnya.
Risiko Penempatan Rp 200 Triliun di Bank BUMN
Achmad menyebut terdapat beberapa risiko terkait penempatan dana Rp 200 triliun di bank BUMN. Pertama, adalah distorsi insentif. Dana murah mendorong bank mencari portofolio paling aman dan cepat, sering kali jatuh ke refinancing debitur besar atau kredit konsumsi, bukan ke UMKM pangan, koperasi desa, atau pengembang rumah sederhana yang memerlukan nurturing.
Risiko kedua adalah konsentrasi sektor. Penumpukan ke properti tanpa manajemen siklus bisa memantik volatilitas harga. Risiko ketiga adalah moral hazard di hulu “koperasi instan”, penyaluran berbasis kedekatan, atau pengadaan MBG yang tak transparan.
"Risiko keempat adalah pendanaan yang volatil. Jika dana pemerintah bersifat on call sementara kreditnya berumur panjang, tercipta mismatch maturitas yang menyandera stabilitas likuiditas bila terjadi penarikan mendadak," ujarnya.
Pasang Rambu Pengaman Hindari Moral Hazard
Lebih lanjut, kata Achmad untuk menutup celah moral hazard dari penempatan dan Rp 200 triliun yakni alokasi perlu ring-fencing. Tetapkan porsi minimal untuk ekosistem MBG dan KDMP terverifikasi, sisanya ke perumahan rakyat dan UMKM rantai pasok.
Kemudian, penting untuk menerapkan risk sharing yang sehat penjaminan pemerintah terbatas pada kelas risiko yang punya externalities tinggi agar bank tetap memegang sebagian risiko dan selektif memilih debitur.
Selnjutnya, menjaga disiplin tenor dan likuiditas yakni dana on call diarahkan terutama ke kredit modal kerja bergulir, sementara KPR tenor panjang wajib ditopang sumber pendanaan yang stabil.
Laporan bulanan harus bermakna, bukan seremonial, yakni tampilkan dasbor publik sederhana tentang arah penyaluran dan capaian dampak, tanpa mengumbar data debitur.
"Terakhir, tetapkan negative list: dilarang untuk refinancing konsumsi, pembelian lahan spekulatif, dan proyek yang tidak terhubung ke misi pangan-gizi, perumahan rakyat, dan ekonomi desa," pungkasnya.