Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump beberapa waktu lalu meminta organisasi negara penghasil minyak OPEC+ untuk menurunkan harga minyak. OPEC+ belum bereaksi terhadap seruan Trump untuk penurunan harga minyak.
Sementara itu, Menteri Ekonomi Arab Saudi, Faisal al-Ibrahim mengatakan dalam di Forum Ekonomi Dunia di Davos bahwa negara itu dan OPEC sedang mencari stabilitas pasar minyak jangka panjang.
"Posisi kerajaan, posisi OPEC, adalah tentang stabilitas pasar jangka panjang untuk memastikan ada cukup pasokan untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat," kata Faisal, dikutip dari US News, Kamis (6/2/2025).
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengungkapkan bahwa penurunan harga tidak akan berpengaruh besar pada pasar minyak dunia. Pasalnya, penurunan produksi yang diputuskan OPEC juga tidak menaikkan harga minyak dunia.
Jadi kalau OPEC dipaksa turunkan harga minyak tidak akan efektif. Tapi kalau tetap dipaksa turunkan harga maka akan berdampak pada negara-negara penghasil minyak,” kata kepada Liputan6.com di Jakarta, dikutip Kamis (6/2/2025).
Indonesia Bisa Untung
Penurunan harga minyak dari OPEC dapat menguntungkan Indonesia, lantaran posisinya sebagai importir dengan jumlah yang cukup besar.
“Jadi kalau turun akan menguntungkan bagi Indonesia, karena devisa yang digunakan untuk mengimpor bisa turun, kemudian subsidi yang diberikan untuk Pertalite juga akan turun,” papar Fahmy.
“Maka kalau Trump berhasil memaksa OPEC turunkan harga hal ini akan menguntungkan Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dan energi FEB Univesitas Pandjajaran, Yayan Sakyati memperkirakan penurunan harga minyak OPEC diyakini akan menurunkan harga BBM dalam negeri tetapi akan menurunkan pendapatan negara.
Pasalnya, pendapatan PNBP dari lifting minyak dan gas Indonesia diekspor ke pasar internasional, menurut pengamat ekonomi dan energi FEB Univesitas Pandjajaran, Yayan Sakyati.
“Jadi (penurunan harga minyak dunia) ada positif nya dan negatifnya,” kata Yayan kepada Liputan6.com di Jakarta.
“Tapi jika kita melihat pada dampak, konsumsi kita lebih besar daripada produksi migas. Penurunan harga minyak memberikan dampak positif lebih besar,” jelasnya.
Harga Minyak Mentah Dunia Terjun Bebas
Sebelumnya, harga minyak anjlok lebih dari 2% pada hari Rabu, setelah laporan menunjukkan peningkatan signifikan dalam persediaan minyak mentah dan bensin di Amerika Serikat, yang mengindikasikan permintaan yang lebih lemah.
Selain itu, kekhawatiran tentang perang dagang baru antara China dan AS semakin memicu ketakutan akan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
Dikutip dari CNBC, kamis (6/2/2025), harga minyak untuk kontrak berjangka minyak mentah Brent ditutup turun USD 1,59, atau 2,09%, menjadi USD 74,61 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun USD 1,67, atau 2,3%, menjadi USD 71,03 per barel.
Administrasi Informasi Energi AS melaporkan pada hari Rabu bahwa persediaan minyak mentah AS meningkat tajam minggu lalu, di tengah kilang yang melakukan pemeliharaan karena permintaan bensin yang lemah.
Para kilang saat ini tidak membutuhkan minyak mentah, kata John Kilduff, mitra di Again Capital di New York. Mereka bergegas melakukan pemeliharaan, mengingat lemahnya permintaan bensin yang kita lihat, tambahnya.
Kekhawatiran akan perang dagang baru antara AS dan China, importir energi terbesar dunia, juga menekan harga.
Pada hari Selasa, China mengumumkan tarif atas impor minyak, gas alam cair, dan batu bara AS sebagai balasan atas tarif yang diterapkan AS pada ekspor China, yang menyebabkan WTI turun 3% pada titik terendah sesi, terendah sejak 31 Desember.
Pengenaan tarif oleh China pada impor AS mengurangi permintaan untuk komoditas tersebut, yang perlu dialihkan ke pasar lain, kata Andrew Lipow, presiden Lipow Oil Associates.
Isu OPEC
Pada hari Rabu, Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, mendesak anggota OPEC untuk bersatu melawan kemungkinan sanksi AS, setelah Trump menyatakan akan mengembalikan kampanye tekanan maksimum pada Iran yang diterapkannya pada masa jabatan pertamanya.
Trump mendorong ekspor minyak Iran mendekati nol selama sebagian masa jabatan pertamanya setelah memberlakukan kembali sanksi untuk membatasi program nuklir negara tersebut.
Jika sanksi ini diberlakukan kembali, pengetatan pasokan yang dihasilkan dapat mempertahankan momentum kenaikan harga minyak, terutama di tengah penyesuaian pasokan dari produsen OPEC+ yang lebih lambat dari perkiraan, kata Ahmad Assiri, ahli strategi penelitian di perusahaan pialang Pepperstone.
Sentimen Perang Dagang
Ekspor minyak Iran menghasilkan USD 53 miliar pada tahun 2023 dan $54 miliar setahun sebelumnya, menurut perkiraan EIA. Produksi selama tahun 2024 berjalan pada tingkat tertinggi sejak 2018, berdasarkan data OPEC.
Pasar minyak kini terjebak antara meningkatnya ketakutan bahwa perang dagang yang semakin memanas akan merusak pertumbuhan permintaan minyak global di satu sisi dan kemungkinan gangguan mendadak ekspor minyak Iran, kata Bjarne Schieldrop, kepala analis komoditas di SEB.