Tingkatkan Penerimaan Negara, Kenaikan Royalti Minerba Harus Perhatikan Hal Ini

7 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta Seiring dengan usulan revisi tarif royalti untuk berbagai komoditas mineral dalam peraturan terbaru, Kepala Badan Pembinaan Organisasi dan Keanggotaan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (BPOK APNI) Osco Olfriady Letunggamu, menyampaikan bahwa kebijakan ini mempunyai beragam tanggapan dalam masyarakat khususnya para pelaku industri pertambangan dan hilirisasi mineral di Indonesia.

"Pemerintah dalam penetapan royalti harus memutuskan tarif yang kompetitif agar tetap menarik bagi investor," ujar Osco dalam keterangan tertulis, Selasa (18/3/2025).

Dalam usulan revisi tarif royalti bijih nikel yang sebelumnya flat 10% akan diubah menjadi tarif progresif 14%-19%, menyesuaikan dengan Harga Mineral Acuan (HMA). Perubahan serupa juga diterapkan pada berbagai komoditas lainnya, seperti bijih tembaga, emas, perak, platina, dan timah.

Bijih nikel dan tembaga mengalami kenaikan tarif royalti paling signifikan, terutama karena skema progresif yang diterapkan. Produk olahan nikel (Ferronikel, NPI, dan Nikel Matte) masih dikenakan tarif yang lebih rendah dibandingkan emas dan tembaga olahan untuk mendorong hilirisasi. Komoditas Emas mengalami lonjakan royalti paling agresif, naik hampir dua kali lipat dalam skema progresifnya. Disisi lain mineral seperti perak dan platina hanya mengalami kenaikan moderat dan masih dalam skema tarif tetap.

Osco melihat bahwa kebijakan revisi ini sejalan dengan visi besar Presiden Prabowo Subianto, yakni Bersama Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045, yang mencakup delapan misi utama (Asta Cita), termasuk percepatan hilirisasi industri dan peningkatan investasi sebagai faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Revisi PP No. 26/2022 dapat membantu pemerintah menargetkan peningkatan penerimaan negara dari royalti minerba untuk mendukung berbagai program strategis, termasuk program gizi gratis untuk anak-anak dan ibu hamil yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan daya beli dan produktivitas masyarakat.

Promosi 1

Revisi Tarif Royalti Harus Cermat

Namun, revisi tarif royalti ini harus dikelola dengan cermat agar tidak menghambat investasi dan pertumbuhan sektor pertambangan. Berdasarkan pengalaman global, penerapan tarif royalti yang terlalu tinggi dapat mengurangi daya saing industri nasional, mendorong relokasi investasi ke negara lain, serta menghambat proyek eksplorasi dan pengembangan tambang baru.

"Kami di BPOK APNI melakukan study terkait dampak bagi Pemerintah, Penambang, Industri dan Luar Negeri. Osco menjelaskan bahwa bagi Pemerintah revisi tarif akan berdampak positif pada peningkatan pendapatan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), mendorong hilirisasi industri mineral dengan memberikan skema tarif yang lebih kompetitif bagi produk olahan dan mengontrol eksploitasi sumber daya agar lebih berkelanjutan," jelas Osco.

Namun disisi lain adanya Risiko penurunan investasi di sektor pertambangan jika kenaikan royalti dianggap membebani pelaku usaha serta Potensi hilangnya daya saing global, terutama jika negara lain memiliki kebijakan royalti yang lebih kompetitif.

Penambang Nikel melihat jika harga nikel global tetap tinggi, margin keuntungan masih bisa dipertahankan. Hal ini mendorong efisiensi operasional dan penggunaan teknologi yang lebih baik dalam pertambangan. Ketika harga nikel tidak lagi kompetitif maka biaya produksi yang tinggi akan menggerus margin dengan drastis.

"Ini akan berdampak signifikan kepada penambang skala kecil dan menengah yang kesulitan bertahan dan ketika ini terjadi secara bersamaan maka akan berpotensi mengurangi produksi nasional. Risiko ini menurunkan eksplorasi mineral akibat beban biaya yang lebih tinggi," tutur dia.

Industri Smelter

Bagi Industri Smelter Tarif progresif untuk produk olahan (Nikel Matte, Ferronikel, dan Nikel Pig Iron) dapat meningkatkan nilai tambah dalam negeri dan Pasokan ke smelter dalam negeri lebih terjamin jika ekspor tetap dibatasi. Namun jika harga bijih nikel naik akibat kenaikan royalti, maka biaya bahan baku bagi smelter akan meningkat. Sedangkan Smelter yang belum sepenuhnya efisien berpotensi

mengalami tekanan finansial. Ketika biaya produksi di Indonesia meningkat, negara lain dengan kebijakan royalti lebih rendah dan lebih kompetitif di pasar global dapat menggerakan relokasi investasi dari Indonesia ke negara lain yang menawarkan insentif lebih menarik. Kenaikan royalti ini dapat berdampak pada harga nikel global.

Osco juga memberikan Rekomendasi kepada Pemerintah dimana Tarif royalti harus tetap kompetitif dibandingkan negara lain agar tidak mengurangi minat investasi. Penyederhanaan Regulasi penting untuk Meningkatkan Investasi dan Mempercepat proses revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang saat ini bisa memakan waktu hingga 6 bulan.

Perlu nya mendorong Investasi di Sektor Hilirisasi dengan memberikan insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam hilirisasi mineral agar daya saing industri nasional meningkat. Penegakan Hukum untuk Meningkatkan PNBP dapat mengoptimalkan penarikan royalti dari aktivitas pertambangan ilegal yang berpotensi menambah pendapatan negara.

"Kami memahami bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendorong hilirisasi industri mineral. Namun, perlu keseimbangan agar sektor pertambangan tetap kompetitif, smelter dalam negeri tetap berkembang, dan daya saing Indonesia di pasar global tetap kuat," ujar Osco.

"Sebagai pemangku kepentingan, kami berharap adanya dialog lebih lanjut antara pemerintah, industri, dan pelaku usaha agar kebijakan ini dapat diterapkan dengan optimal tanpa menghambat pertumbuhan industri mineral nasional," tutup dia.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |