Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS melemah pada Senin pagi. Kurs rupiah melemah 60 poin atau 0,37 persen menjadi 16.250 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 16.190 per dolar AS.
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan, data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang solid dapat memicu Federal Reserve (The Fed) menahan diri tak pangkas suku bunga, sehingga mendorong kenaikan dolar AS dan melemahkan nilai tukar (kurs) rupiah.
“Peluang pelemahan rupiah hari ini terbuka ke arah 16.250 dengan potensi support di kisaran 16.150,” ujarnya dikutip dari Antara, Senin (13/1/2025).
Pada Jumat (10/1), data tenaga kerja AS Non Farm Payrolls (NFP) pada Desember 2024 tercatat sebesar 256 ribu, lebih dari bulan sebelumnya yang sebesar 212 ribu.
Data tingkat pengangguran AS juga mengalami penurunan menjadi 4,1 persen untuk Desember 2024 dari 4,2 persen pada bulan sebelumnya.
“Solidnya data tenaga kerja bisa memicu The Fed menahan diri tidak memangkas suku bunga acuannya lagi, sehingga ekspektasi ini mendorong kenaikan dolar AS,” ungkap Ariston.
Rilis dari dua data ekonomi tersebut turut meningkatkan indeks dolar AS yang berada di level tertinggi baru dalam dua tahun terakhir, yakni 109,96 pada Jumat (10/1) dan 109,65 pada hari ini.
Menurut dia, capaian yang baik dari ekonomi AS karena pengeluaran konsumsi personal di negara tersebut mencapai 68,24 persen atau di atas rata-rata sebesar 64,32 persen.
“Konsumsi yang masih kuat di AS mendukung pertumbuhan ekonomi AS, roda ekonomi berjalan masih bagus. Ekonomi yang bertumbuh bagus membuka kesempatan kerja yang lebih banyak,” ucapnya.
Untuk pekan ini, Ariston tidak melihat ada rilis data ekonomi Indonesia. Namun, akan ada rilis data neraca perdagangan pada hari ini dan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal IV pada Jumat (17/1) dari China.
“Sinyal pelambatan ekonomi China juga bisa menekan rupiah karena relasi dagang yang besar antara China dan Indonesia,” kata dia.
Rupiah hingga Data Ekonomi AS Bebani IHSG pada 6-10 Januari 2025
Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot pada periode 6-10 Januari 2025. Analis menilai penguatan IHSG didorong data ekonomi China dan gerak nilai tukar rupiah pada pekan ini.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Sabtu (11/1/2025), IHSG terpangkas 1,05 persen ke posisi 7.088,86 dari pekan lalu di posisi 7.164,42.
Kapitalisasi pasar bursa turun 0,34 persen menjadi Rp 12.403 triliun dari pekan lalu Rp 12.445 triliun. Selain itu, rata-rata nilai transaksi harian bursa anjlok 10,45 persen menjadi Rp 8,72 triliun dari Rp 9,74 triliun pada pekan lalu.
Rata-rata volume transaksi harian bursa terpangaks 17,37 persen menjadi 17,66 miliar lembar saham dari pekan sebelumnya 21,38 miliar saham.
Sementara itu, rata-rata frekuensi transaksi harian bursa menguat 0,89 persen menjadi 1,04 juta kali transaksi dari 1,03 juta kali transaksi pada pekan lalu.
Investor asing menjual saham mencapai Rp 2,11 triliun pada pekan ini. Aksi jual ini lebih besar dari pekan lalu yang mencapai Rp 256,38 miliar.
Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana menuturkan, IHSG melemah 1,05 persen didorong sejumlah faktor. Pertama, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang cenderung tertekan. Hal itu diperkirakan respons atas pelaku pasar yang cenderung wait and see di tengah risalah bank sentral AS atau the Federal Reserve (the fed) akan perlambatan pemangkasan suku bunga.
Kedua, rilis data Jolts Jobs Openings yang menunjukkan ada peningkatan pekerjaan, tetapi di sisi lain pelaku pasar juga menantikan data nonfarm payrolls (NFP) yang akan rilis pekan ini.
Prediksi IHSG
Ketiga, Herditya menuturkan, rilis data PMI China yang meningkat di atas 50, yang menandakan ada ekspansi serta inflasi Desember 2024 yang menunjukkan ada penurunan ke 0,1 persen Year on Year/YoY (vs 0,2 persen YoY).
Pada pekan depan, Herditya prediksi IHSG akan sideways. “Untuk sepekan ke depan, kami perkirakan IHSG masih cenderung sideways dengan level support berada di 7.024 dan level resistance di 7.197,” ujar Herditya saat dihubungi Liputan6.com.
Ia mengatakan, ada sejumlah hal yang pengaruhi pergerakan IHSG. Pertama rilis data Producer Price Index (PPI) dan inflasi Amerika Serikat. Kedua, rilis data neraca perdagangan dan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia. “Ketiga data industri dan GDP China,” ujar dia.