Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan tantangan besar dalam transisi energi di Indonesia, khususnya terkait perbedaan biaya antara batu bara dan gas untuk pembangkit listrik.
Bahlil menjelaskan bahwa penggunaan gas sebagai sumber energi utama untuk pembangkit listrik jauh lebih mahal dibandingkan dengan batu bara.
Berdasarkan contoh perhitungannya, jika pembangkit listrik sebesar 1 gigawatt menggunakan gas, maka biaya yang diperlukan mencapai sekitar Rp 6 triliun. Sementara itu, pembangkit berbasis batu bara hanya membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah, sekitar 4,9 hingga 5 sen per kWh.
"Tau gak kemahalannya Kalau batubara batu bara itu hanya 4,9 sampai 5 sen. Ini saya kasih pertimbangan ya, kalau gas 1 gigawatt gas dengan asumsi 10 dolar Per MBBTU itu sama dengan tingkat kemahalannya kurang lebih sekitar Rp 6 triliun 1 gigawat," kata Bahlil dalam Diskusi Ekonomi Outlook 2025, di Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Menurut Bahlil, dalam jangka panjang, penggunaan gas bisa memicu biaya yang sangat besar, yang diperkirakan akan mencapai sekitar Rp 2.600 triliun lebih mahal jika dibandingkan dengan batu bara hingga tahun 2040.
"Kalau kali 25 tahun Itu kurang lebih sekitar Rp 120 sampai Rp 140 triliun tingkat kemahalan selisih antara batubara dan gas. 1 gigawatt Itu kita membutuhkan 25 kargo. Jadi, kalau 20 gigawatt yang kita akan rencanakan sampai 2040, itu sama dengan kita membutuhkan 500 kargo dan Rp 130 triliun x 20 Berarti berapa itu? Sekitar Rp 2.600 triliun lebih mahal ketimbang Batubara," jelasnya.
Menteri ESDM Sarankan RI Tak Hanya Andalkan Energi Terbarukan
Menteri ESDM juga menyarankan pentingnya pendekatan seimbang dalam transisi energi, dengan tidak hanya mengandalkan energi terbarukan.
Negara-negara seperti India dan China, menurutnya, telah mengadopsi strategi campuran antara batu bara dan energi terbarukan seperti matahari dan angin untuk mengurangi polusi sambil menjaga kestabilan pasokan energi.
"Jadi, mereka (India) blending antara batu bara, matahari dan angin. Cina pun melakukan hal yang sama," ujarnya.
Disisi lain, Bahlil juga menyinggung pentingnya teknologi penangkapan karbon (carbon capture) yang dapat mengurangi dampak polusi dari batu bara.
Teknologi ini, menurutnya, perlu diperhitungkan dalam kebijakan energi ke depan agar tetap ramah lingkungan sekaligus terjangkau.
"Ini lagi ide-ide aja ini belum keputusan ya. Ini baru ide aja sekarang kan sudah ada teknologi Untuk menangkap carbon capture CO2. Jadi, kami lagi menghitung antara kalau pakai Batubara dengan menangkap carbon capture nya itu berapa biayanya," ujar Menteri ESDM.