Perguruan Tinggi Kelola Tambang, Asosiasi Sebut Bakal Ubah Arah Cetak Keuntungan

5 days ago 12

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana memberikan izin konsesi tambang kepada perguruan tinggi. Kebijakan ini sontak mendapat perhatian dari banyak pihak, baik dari praktisi pendidikan maupun pengelola tambang.

Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) Anggawira menyoroti dari sisi keselarasan dengan tujuan pendidikan. Menurut dia, mengelola tambang adalah aktivitas industri yang kompleks dan berorientasi pada keuntungan. Hal ini berpotensi menggeser fokus universitas dari fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

"Alih-alih menjadi pusat pembelajaran, universitas dapat menjadi lebih berorientasi pada keuntungan," kata Anggawira kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).

Selain itu, Anggawira juga menyoroti kemampuan dan sumber daya universitas. Di mana tidak semua universitas memiliki infrastruktur, tenaga ahli, atau pengalaman yang cukup untuk mengelola tambang. Hal ini dapat menimbulkan risiko buruknya pengelolaan lingkungan atau ketidakefisienan operasional, yang pada akhirnya dapat merusak reputasi universitas.

Wacana pemberian konsesi tambang kepada institusi pendidikan juga menimbulkan potensi konflik kepentingan. Universitas yang berperan sebagai pengelola tambang dapat menghadapi konflik kepentingan, terutama jika kebijakan atau penelitian mereka bias terhadap kepentingan tambang yang dikelola.

"Hal ini dapat mengurangi objektivitas universitas sebagai institusi akademis," imbuh Anggawira.

Tak kalah penting, adanya risiko kerusakan lingkungan. Menurut Anggawira, pengelolaan tambang yang kurang profesional dapat memperburuk dampak lingkungan. Universitas yang tidak berpengalaman berisiko terlibat dalam eksploitasi sumber daya yang merusak ekosistem sekitar.

Alternatif Solusi

Alih-alih mengelola tambang sendiri, universitas dapat bermitra dengan perusahaan tambang untuk membuka pusat penelitian atau laboratorium lapangan. Mahasiswa dapat terlibat dalam praktik langsung tanpa risiko pengelolaan yang tidak profesional.

"Pemerintah dapat mendorong universitas untuk fokus pada penelitian terkait teknologi ramah lingkungan, efisiensi tambang, atau rekayasa lingkungan dalam konteks industri tambang. Hasil riset ini dapat diadopsi oleh perusahaan tambang," kata Anggawira.

Tambang Edukasi

Jika universitas ingin terlibat langsung, mereka dapat diberikan izin mengelola tambang skala kecil atau tambang edukasi. Jenis tambang yang cocok adalah tambang yang relatif aman dan minim risiko lingkungan, seperti tambang batu kapur atau tambang pasir untuk tujuan penelitian.

"Di samping itu, pemerintah dapat memberikan dukungan untuk memperkuat program studi terkait pertambangan, termasuk pelatihan teknis dan manajerial bagi mahasiswa. Dengan begitu, lulusan siap bekerja di industri tambang tanpa harus universitas mengelolanya langsung," ujar Anggawira.

Tambang yang Cocok untuk Universitas

Menurut Anggawira, tambang yang cocok untuk universitas adalah yang relatif minim risiko dan aman untuk dikelola sebagai bagian dari program pendidikan. Antara lain seperti tmbang batu kapur untuk bahan konstruksi.

Tambang pasir atau kerikil untuk proyek teknik sipil, dan tambang mineral non-logam seperti kaolin atau bentonit yang digunakan dalam industri keramik atau kosmetik.

"Tambang ini memungkinkan universitas untuk berfokus pada edukasi dan penelitian tanpa harus menghadapi kompleksitas tambang skala besar," imbuh Anggawira memungkasi.

Ekonom: Biaya Mahal hingga Faktor Lingkungan jadi Hambatan Perguruan Tinggi Kelola Tambang

Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memberikan sinyal positif bagi perguruan tinggi dan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mendapatkan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). 

Adapun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tengah mengkaji kriteria perguruan tinggi atau universitas yang bisa mendapat izin kelola tambang.Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung mengatakan kriteria perguruan tinggi bisa kelola tambang itu belum dibahas dengan DPR RI. 

"Ini kita belum bahas dengan DPR, jadi kalau ini sudah dibahas dengan DPR, bagaimana kriteria yang ditetapkan oleh DPR, ya tentu itu nanti akan kita lihat bagaimana kebutuhan perguruan tinggi, ya termasuk dalam rangka kampus merdeka," kata Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat, 24 Januari 2025.

Namun, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistra menilai terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memberikan izin kelola tambang pada perguruan tinggi.

"Mengelola tambang menyimpang jauh dari tridarma perguruan tinggi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan dan pengabdian kepada masyarakat. Artinya sejak berdiri core business kampus bukan mengelola tambang karena sama sekali berbeda dengan tujuannya," ungkap Bhima kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).

Butuh Modal Besar

Ia menyoroti tidak semua perguruan tinggi memiliki jurusan, di mana hanya 30 termasuk di dalamnya sekolah tinggi. Sementara PTN hanya 8 yang punya jurusan teknik pertambangan.

"Kebijakan membungkam suara akademik termasuk dosen dan mahasiswa dalam mengkritisi tata kelola tambang yang merusak lingkungan hidup. Ketika terjadi konflik dengan masyarakat sekitar kampus akan jadi petugas keamanan yang siap membela eksistensi tambang," jelas Bhima. 

Selain itu, suatu perguruan tinggi juga memerlukan biaya modal yang sangat besar bahkan untuk skala kecil dengan luas 500 ha, kebutuhan biaya upfront minimal Rp 500 miliar yang meliputi biaya uji kelayakan, biaya eksplorasi, biaya mine development, biaya transportasi, reklamasi lahan paska tambang, pajak dan royalti, serta biaya CSR. 

"Kampus itu begitu disuruh buat uji lab dan uji kelayakan sudah jebol keuangannya. Khawatir banyak kampus jadi broker tambang karena secara finansial tidak mampu. Pengelolaan tambangnya diserahkan ke perusahaan lain atau kontraktor dengan bagi hasil yang minim ke kampus," papar Bhima. 

Studi Celios Soroti Dampak Berat Kehadiran Tambang bagi Masyarakat Lokal

Bhima juga mengutip studi Celios dan Greenpeace yang menunjukkan desa dengan lokasi yang ada di area tambang dan berdekatan dengan tambang memiliki akses pendidikan yang rendah, akses kesehatan lebih jauh, konflik masyarakat yang lebih tinggi dibanding desa non-tambang.

"Sudah jelas bahwa biaya eksternalitas negatif tambang menyebabkan kerusakan lingkungan, kualitas SDM lokal, hingga kerugian kesehatan dalam jumlah cukup besar," bebernya.

Studi lain dari Celios dan CREA 2024 juga menunjukkan risiko kematian dini dari tambang dan smelter nikel menembus 3.800 orang per tahunnya, dengan kerugian biaya kesehatan yang diperkirakan mencapai Rp 40 triliun pada 2025. 

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |