Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menargetkan tarif tinggi terhadap barang impor dari China yang mulai berlaku Kamis, 10 April 2025. Seiring hal itu, Gedung Putih mengklarifikasi kalau tarif kumulatif kepada China sebenarnya akan mencapai 145 persen.
Sebelumnya, Gedung Putih menunjukkan perintah penundaan penerapan tarif resiprokal selama 90 hari. Namun, Donald Trump menggandakan menaikkan tarif baru impor China menjadi 125 persen. Selain itu, tambahan tarif 20 persen dari awal tahun atas dugaan peran China dalam rantai pasokan Fentanyl, demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, ditulis Jumat (11/4/2025).
Hal itu mendorong tarif yang telah dikenakan Trump pada barang China pada 2025 menjadi 145 persen, terdiri dari tarif baru 125 persen untuk barang, di atas tingkat 20 persen yang dipungut sebagai respons terhadap krisis fentanyl. Namun, angka 125 persen terbaru terhadap China yang ditujukan untuk mengatasi praktik yang dianggap tidak adil berisi pengecualiaan penting. Itu tidak termasuk produk impor baja dan aluminium serta mobil yang Trump terapkan 25 persen terpisah dari rezim sebelumnya.
Jumlahnya juga tidak berlaku untuk barang seperti tembaga, obat-obatan, semikonduktor, kayu dan produk energi, beberapa di antaranya Trump telah menandai rencana menargetkan secara terpisah juga. Hal ini menggambarkan lebih rumit tentang tingkat tarif, bahkan saat ketegangan melambung antara AS dan China.
Di sisi lain, bursa saham Amerika Serikat atau wall street anjlok setelah menguat imbas Donald Trump tunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari.
Investor khawatir dengan penundaan yang singkat lantaran aktivitas ekonomi akan melambat seiring tarif lebih tinggi dari China. Mengutip CNBC, indeks S&P 500 melemah 3,9 persen, indeks Nasdaq susut 5 persen dan indeks Dow Jones terpangkas 3,1 persen.
Saham Nvidia melemah lebih dari 7 persen, saham Meta susut 7 persen. Sedangkan saham Apple dan Tesla masing-masing turun lebih dari 6 persen dan 10 persen.
Tarif Trump Buat China Melonjak jadi 125%, Negara Lain Ditunda 90 Hari
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Rabu (9/4) kembali menaikkan tarif impor terhadap China menjadi 125%.
Mengutip CNBC International, Kamis (10/4/2025) Trump mengatakan dalam sebuah postingan media sosial bahwa ia menaikkan tarif pada impor dari China menjadi 125% dan akan "berlaku segera"
China, yang merupakan mitra dagang terbesar ketiga AS sebelumnya mengatakan akan menaikkan tarifnya untuk impor dari AS menjadi 84%.
Selain itu, Trump juga menurunkan tarif baru untuk impor dari sebagian besar mitra dagang AS menjadi 10% selama 90 hari untuk memungkinkan negosiasi perdagangan dengan negara-negara tersebut.
75 Negara Negosiasi
Presiden AS mengatakan, lebih dari 75 Negara telah menghubungi pejabatnya untuk bernegosiasi setelah ia mengumumkan tarif impor baru minggu lalu.
"Yah, saya pikir orang-orang sedikit bertindak tidak semestinya," ujar Trump ketika ditanya kemudian tentang alasan menunda kenaikan tarif impor hingga 90 hari.
"Mereka mulai gelisah, Anda tahu, mereka mulai sedikit gelisah, sedikit takut," ucap Trump di Gedung Putih.
Dalam keterangan terpisah, Menteri Keuangan AS Scott Bessett mengklaim bahwa Trump bermaksud untuk menghentikan tarif luas yang diumumkan pekan lalu.
"Ini adalah strateginya selama ini," ucap Bessent di Gedung Putih.
Diwartakan sebelumnya, Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong buka suara terkait pengenaan tarif impor AS sebesar 10% terhadap negaranya oleh Amerika Serikat.
Dia menyebut, keputusan pengenaan tarif impor 10% oleh Presiden AS Donald Trump "bukan tindakan yang dilakukan seseorang terhadap seorang teman".
PM Singapura Protes Tarif Impor AS
Dalam pernyataannya di parlemen Singapura, Lawrence Wong juga mengatakan bahwa tarif baru yang luas bukanlah "reformasi" terhadap tatanan perdagangan global, tetapi penolakan terhadap sistem yang pernah diperjuangkan AS.
Menurutnya, jika bea masuk tersebut benar-benar timbal balik dan ditujukan pada negara-negara surplus perdagangan, tarif untuk Singapura seharusnya nol.
Selain itu, PM Lawrence Wong juga menilai bahwa tarif universal menandai titik balik yang mendalam dalam perdagangan global, menjauh dari globalisasi berbasis aturan dan menuju era yang lebih sewenang-wenang, proteksionis, dan berbahaya.
"Perasaan bahwa AS telah memberikan terlalu banyak dengan mengizinkan China bergabung dengan WTO; dan bahwa China bersaing secara tidak adil, misalnya, dengan memberikan subsidi besar-besaran kepada perusahaannya sendiri, memasang hambatan nontarif, dan membatasi akses pasar bagi perusahaan-perusahaan AS. Kekhawatiran ini harus ditangani dalam kerangka WTO," kata dia.
AS telah mencatat surplus perdagangan sebesar USD 2,8 miliar dengan Singapura pada tahun 2024, atau tumbuh 84,8 persen dari tahun sebelumnya, menurut data dari Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat.
Perdagangan dua arah juga meningkat menjadi USD 89,2 miliar selama periode tersebut