Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) resmi mencabut dan menarik Uang Rupiah Khusus Seri For The Children of The World Tahun Emisi (TE) 1999 pecahan Rp150.000 dan Rp10.000 dari peredaran.
Pencabutan tersebut mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 2 Tahun 2025, terhitung sejak 31 Januari 2025. Dengan demikian, terhitung tanggal dimaksud Uang Rupiah Khusus tersebut tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso mengatakan, bagi masyarakat yang memiliki Uang Rupiah Khusus tersebut dan ingin melakukan penukaran, dapat menukarkannya di Bank Umum mulai 31 Januari 2025-1 Januari 2035, atau 10 tahun sejak tanggal pencabutan.
"Layanan penukaran dapat dilakukan di Kantor Pusat maupun Kantor Perwakilan Bank Indonesia di seluruh Indonesia," kata Ramdan dikutip dari laman BI, Selasa (4/2/2025).
Adapun untuk penukaran, masyarakat terlebih dahulu harus melakukan pemesanan penukaran melalui aplikasi PINTAR yang diakses melalui https://www.pintar.bi.go.id, dengan mengacu pada ketentuan atau informasi yang disampaikan mengenai jadwal operasional dan layanan publik Bank Indonesia.
"Penggantian akan diberikan sebesar nilai nominal yang sama dengan yang tertera pada Uang Rupiah dimaksud," ujarnya.
Mekanisme Penukaran
Apabila Uang Rupiah yang akan ditukarkan dalam kondisi lusuh, cacat, atau rusak maka penggantian dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia No. 21/10/PBI/2019 mengenai Pengelolaan Uang Rupiah, yaitu:
Pertama, dalam hal fisik Uang Rupiah logam lebih besar dari 1/2 (satu perdua) ukuran aslinya dan ciri uang Rupiah dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal uang Rupiah yang ditukarkan, dan;
Kedua, dalam hal fisik Uang Rupiah logam sama dengan atau kurang dari 1/2 (satu perdua) ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian.
Latar belakang dikeluarkannya PBI Nomor Tahun 2025
Sejak dikeluarkan dan ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 31 Januari 2000, URK Seri "For The Children of The World" telah memiliki masa edar yang cukup lama sehingga perlu dilakukan Pencabutan dan Penarikan dari peredaran serta dinyatakan tidak lagi sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU Mata Uang).
Maka penerbitan PBI Pencabutan dan Penarikan URK TE 1999 tersebut dimaksudkan sebaga landasan hukum pencabutan dan penarikan URK Seri "For The Children of The World" dari peredaran dengan menetapkan URK Seri "For The Children of The World" bukan lag merupakan alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Uang Rupiah Khusus Seri "For The Children of The World' Tahun Emisi 1999 adalah Uang Rupiah yang dikeluarkan secara khusus untuk memperingati ulang tahun UNICEF ke-50 dan menjadi bagian dari partisipasi Bank Indonesia dalam program "The UNICEF Children of the World Coin Collection" untuk menghimpun dana bagi kesejahteraan anak-anak di seluruh dunia.
Bank Indonesia: Penyaluran Kredit Baru Meningkat pada Kuartal IV 2024
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat berdasarkan hasil survei Perbankan mengindikasikan penyaluran kredit baru pada triwulan atau kuartal IV 2024 meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Hal ini tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) penyaluran kredit baru pada triwulan IV 2024 sebesar 97,9%, lebih tinggi dibandingkan SBT 80,6%, pada triwulan sebelumnya.
"Berdasarkan jenis penggunaan, peningkatan pertumbuhan kredit baru terindikasi bersumber dari kredit modal kerja (SBT 91,7%) dan kredit investasi (SBT 88,5%)," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Ramdan Denny Prakoso, dalam hasil survei Perbankan Triwulan IV 2024, di Jakarta, Senin (20/1/2025).
Sementara itu, kredit konsumsi (SBT 62,9%) terindikasi lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Perlambatan kredit konsumsi disebabkan oleh penyaluran kredit KPR (SBT 53,9%) dan kredit kendaraan bermotor (SBT 24,2%) yang lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya masing-masing sebesar SBT 75,9% dan SBT 25,9%.
Secara sektoral, pertumbuhan kredit baru tertinggi terjadi pada sektor Listrik, Gas dan Air (SBT 80,6%), diikuti sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (SBT 80,2%), serta sektor Industri Pengolahan (SBT 79,3%).
Perkiraan kondisi triwulan I 2025
Secara triwulanan (qtq), Bank Indonesia memproyeksikan penyaluran kredit baru pada triwulan I 2025 tetap kuat meski lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini terindikasi dari prakiraan penyaluran kredit baru triwulan I 2025 sebesar SBT 82,3%, lebih rendah dibandingkan SBT 97,9% pada triwulan sebelumnya.
Prioritas utama responden dalam penyaluran kredit baru pada triwulan I 2025 masih sama dengan periode-periode sebelumnya, yaitu kredit modal kerja diikuti kredit investasi dan kredit konsumsi.
Perlambatan Pertumbuhan DPK
Pada kredit konsumsi, penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR)/ Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) masih menjadi prioritas utama diikuti Kredit Multiguna dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Berdasarkan sektor, prioritas utama penyaluran kredit baru pada triwulan I 2025 adalah Sektor Perdagangan Besar dan Eceran diikuti Sektor Industri Pengolahan serta Sektor Perantara Keuangan. Di sisi lain, kebijakan penyaluran kredit pada triwulan I 2025 diperkirakan sama ketat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Hal ini terindikasi dari Indeks Lending Standard (ILS) triwulan I 2025 yang bernilai positif sebesar 0,2. Berdasarkan jenis kredit, standar penyaluran kredit yang diprakirakan lebih ketat terjadi pada jenis kredit investasi, sementara jenis kredit lainnya terindikasi tidak lebih ketat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Berdasarkan aspek kebijakannya, penyaluran kredit yang diprakirakan lebih ketat antara lain plafon kredit, suku bunga kredit, dan premi kredit berisiko. Untuk Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada triwulan I 2025 diprakirakan melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Perlambatan tersebut terindikasi dari pertumbuhan DPK sebesar SBT 68,8%, lebih rendah dibandingkan 89,3%, pada triwulan sebelumnya. "Perlambatan pertumbuhan DPK diperkirakan terjadi pada seluruh jenis instrumen, baik tabungan (SBT 63,8%), giro (SBT 73,2%) maupun deposito (SBT 80,1%)," pungkasnya.