Berlaku Mulai Hari Ini 17 Mei 2025, Kenaikan Bea Ekspor Sawit Bikin Pengusaha Makin Merana

7 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memberikan perhatian terhadap peningkatan tarif pungutan ekspor untuk produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Kenaikan tarif pungutan ekspor tersebut diduga akan menambah beban sehingga membuatnya kurang bersaing di pasar global.

Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, mengungkapkan bahwa tekanan dari pasar CPO internasional berimbas pada minyak sawit yang berasal dari Indonesia. Dia berharap agar pemerintah mempertimbangkan untuk menunda kenaikan pungutan ekspor CPO yang baru saja diberlakukan.

"Sebaiknya kenaikan PE (pungutan ekspor) ini ditunda terlebih dahulu menunggu situasi membaik," ungkap Eddy saat diwawancarai oleh Liputan6.com pada Sabtu (17/5/2025).

Kenaikan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2025. Dalam peraturan tersebut, tarif pungutan ekspor untuk CPO mengalami peningkatan dari 7,5 persen menjadi 10 persen.

Sementara itu, untuk produk turunannya seperti crude palm olein mengalami kenaikan dari 6 persen menjadi 9,5 persen. Selain itu, produk refined, seperti refined bleached and deodorized palm olein, juga mengalami kenaikan tarif dari 4,5 persen menjadi 7,5 persen.

Aturan yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini telah diundangkan pada 14 Mei 2025. Beleid baru ini akan mulai berlaku secara resmi sejak 17 Mei 2025.

Alasan Minta Ditunda

Eddy menjelaskan bahwa dinamika global, seperti perang tarif antara Amerika Serikat dan China, menjadi faktor penting yang memengaruhi pasar CPO Indonesia.

Selain itu, ketegangan yang meningkat antara India dan Pakistan juga berkontribusi, mengingat kedua negara tersebut merupakan konsumen utama CPO dari Indonesia.

Dia menambahkan, “(Alasan tunda kenaikan pungutan ekspor) Kondisi global saat ini yang kurang baik dengan adanya tarif Trump, perang India dengan Pakistan dimana India adalah importir terbesar kedua dan Pakistan importir terbesar ketiga,” terangnya.

Dengan situasi yang tidak stabil ini, pasar CPO Indonesia harus mempertimbangkan berbagai aspek sebelum mengambil keputusan terkait ekspor.

Volume Ekspor CPO Bertambah

Eddy mengungkapkan bahwa beban ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia semakin meningkat akibat adanya pungutan yang baru. Beban tersebut mencakup kewajiban pasokan dalam negeri (domestic market obligation/DMO), bea keluar, dan pungutan ekspor.

"Kenaikan PE menyebabkan beban ekspor minyak sawit Indonesia meningkat," ucap Eddy.

Ia menambahkan, "Saat ini ekspor minyak sawit Indonesia terkena 3 beban yaitu DMO, PE dan BK, total beban ini sebelum kenaikan sebesar USD 221/metric ton untuk kenaikan ini kita belum menghitung berapa total bebannya."

Menurut Eddy, penambahan pungutan ini akan berdampak signifikan terhadap daya saing ekspor minyak sawit Indonesia di pasar global. Dengan adanya tiga jenis beban yang harus ditanggung, para pelaku industri harus memikirkan strategi untuk menghadapi tantangan ini.

Kenaikan biaya tersebut dapat mempengaruhi keputusan para eksportir dalam menentukan harga jual.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dampak dari kebijakan ini agar tidak merugikan industri minyak sawit nasional.

Minyak sawit Indonesia Tak Bersaing

Menurut Eddy, biaya tambahan yang dikenakan sebagai pungutan untuk layanan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit membuat produk CPO Indonesia kehilangan daya saing. Hal ini semakin diperparah ketika produk tersebut dibandingkan dengan produk dari negara-negara tetangga.

Di sisi lain, diperkirakan harga tandan buah segar (TBS) yang diterima petani akan mengalami penurunan yang signifikan, sementara harga minyak sawit domestik juga diprediksi akan menurun, namun nilai ekspor justru diperkirakan akan meningkat.

“Dengan kenaikan ini maka harga minyak sawit Indonesia kurang kompetitif dibandingkan harga minyak sawit negara tetangga. Dengan kenaikan ini juga akan menekan harga TBS petani. Harga minyak sawit didalam negeri akan turun namun disisi lain harga ekspor kita akan naik,” ujarnya.

Keadaan ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang dapat merugikan petani, di mana mereka harus menghadapi harga TBS yang rendah sementara ekspor tetap menunjukkan tren kenaikan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi industri kelapa sawit di Indonesia untuk tetap mempertahankan daya saing di pasar global.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |