Telepon Trump dan Xi Jinping Redam Ketegangan China-Jepang

Liputan6.com, Jakarta - Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China kembali menjadi pusat perhatian global setelah Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping melakukan panggilan telepon kurang dari sebulan setelah pertemuan mereka di Korea Selatan (Korsel).

Tindak lanjut yang terbilang sangat cepat ini dianggap para analis sebagai sinyal kuat bahwa kedua negara tengah menyusun ulang strategi diplomatik di tengah meningkatnya ketegangan antara China dan Jepang, situasi yang berpotensi mengguncang stabilitas politik, keamanan, hingga ekonomi regional Asia-Pasifik.

Dalam lanskap bisnis global yang sarat ketidakpastian, setiap dinamika hubungan AS–China dipantau ketat oleh pelaku pasar karena kedua negara memegang peran sentral dalam rantai pasok dunia, perdagangan internasional, serta kebijakan moneter global.

Dikutip dari Channel News Asia, Rabu (26/11/2025), panggilan telepon tersebut tidak hanya menunjukkan komunikasi politik tingkat tinggi, tetapi juga mengungkapkan bagaimana Washington dan Beijing menilai ancaman dan peluang strategis yang dapat berdampak pada pasar finansial, investasi, hingga kerja sama antarnegara.

Perhatian khusus tertuju pada Taiwan dan Jepang—dua elemen penting yang dapat memicu gejolak geopolitik yang langsung memengaruhi sektor ekonomi, termasuk perdagangan, industri manufaktur, logistik, dan pariwisata di kawasan.

Pernyataan-pernyataan yang dipilih masing-masing pihak dalam rilis resmi menjadi indikator utama prioritas dan kekhawatiran yang tengah mendominasi agenda kebijakan luar negeri kedua negara.

Dengan demikian, panggilan telepon ini tidak hanya bernilai politis, tetapi juga strategis bagi para pelaku bisnis global yang berharap stabilitas kawasan tetap terjaga.

Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, panggilan tersebut diinisiasi oleh pihak AS dan berlangsung selama sekitar satu jam. Ia menyebut pembicaraan itu “positif, bersahabat, dan konstruktif”, dengan berbagai isu strategis dibahas, termasuk situasi internasional dan hubungan bilateral.

Namun, perbedaan prioritas kedua negara terlihat jelas melalui pernyataan publik masing-masing pihak.

Trump, dalam unggahannya di Truth Social, hanya menyoroti bahwa hubungan AS–China “sangat kuat” dan memuji kemajuan signifikan dalam menjaga kesepakatan yang sudah ada. Tidak ada penyebutan terkait Taiwan—isu paling sensitif bagi China.

Sebaliknya, narasi resmi China melalui kantor berita Xinhua justru menempatkan Taiwan sebagai fokus utama. Beijing menegaskan kembali bahwa kembalinya Taiwan ke pangkuan China adalah bagian tak terpisahkan dari tatanan internasional pascaperang.

Xi juga menegaskan bahwa AS memahami betapa vitalnya masalah Taiwan bagi stabilitas internal dan regional China.

"Ia menggarisbawahi bahwa kembalinya Taiwan ke Tiongkok merupakan bagian integral dari tatanan internasional pascaperang ... AS memahami betapa pentingnya masalah Taiwan bagi Tiongkok," kata pernyataan China tersebut, merujuk pada presiden China.

Panggilan telepon ini juga terjadi di tengah memanasnya hubungan China dan Jepang setelah pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi. Ia sebelumnya menyebut bahwa bila China menyerang Taiwan, Jepang bisa saja memberikan respons militer. Hal ini memicu kecaman keras dari Beijing.

Dampaknya terasa cepat, mulai dari gangguan pariwisata, pembatasan perjalanan, hingga menurunnya aktivitas pertukaran budaya antara kedua negara—sesuatu yang juga berimbas pada iklim usaha dan arus ekonomi regional.

Para analis mengatakan bahwa Beijing memanfaatkan kesempatan ini untuk mendorong Washington agar menekan Tokyo, sekaligus menunjukkan sikap tegasnya terhadap klaim Taiwan.

"Memaksa Takaichi untuk menarik kembali pernyataannya dan menekan AS untuk menerima otoritas China atas Taiwan akan menjadi tujuan akhir Xi," ujar Gary Ng, ekonom senior di Natixis dan peneliti di Central European Institute of Asian Studies.

Dinamika geopolitik di Asia Timur ini memiliki implikasi langsung terhadap iklim ekonomi. Pasar finansial sangat sensitif terhadap isu stabilitas Taiwan, mengingat pulau tersebut merupakan pusat industri semikonduktor global. Sementara ketegangan China–Jepang berpotensi mengganggu arus perdagangan di Asia, rantai pasok elektronik, dan hubungan investasi.

Panggilan telepon Trump–Xi, meski dipresentasikan sebagai upaya memperkuat hubungan bilateral, sekaligus menunjukkan bahwa persaingan strategis tetap menjadi faktor dominan yang akan membentuk arah ekonomi kawasan dalam waktu dekat.