Liputan6.com, Jakarta Program Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) resmi ditutup dengan penuh pencapaian, setelah lima tahun terlaksana pada periode 2019-2024.
Sebagai informasi, program Arafura and Timor Seas Ecosystem Action atau ATSEA merupakan proyek lintas batas yang melibatkan Indonesia, Timor-Leste, Papua Nugini, dan Australia yang berfokus pada tata kelola lintas batas, restorasi ekosistem, dan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir Arafura and Timor Seas atau ATS.
Proyek ATSEA-2 berhasil meraih berbagai capaian dalam memperkuat tata kelola regional, melestarikan keanekaragaman hayati, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di kawasan ATS dengan pendanaan USD 9,7 juta atau sekitar Rp.157,1 miliar dari Global Environment Facility (GEF).
National Project Director (NPD) for ATSEA-2, Yayan Hikmayani menyampaikan bahwa ATSEA-2 telah menjadi katalisator bagi pengelolaan perikanan, perlindungan ekosistem laut, dan mitigasi perubahan iklim di kawasan Laut Arafura dan Laut Timor.
“Proyek ini sejalan dengan Kebijakan Ekonomi Biru Indonesia dan berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Upaya ini menggarisbawahi pentingnya sinergi antara negara-negara ATS untuk menciptakan Laut Arafura dan Timor yang sehat, tangguh, dan produktif," kata Yayan, dalam keterangan di Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Pihaknya pun menilai, Program ATSEA-2 telah memberikan dampak nyata, baik dalam melindungi ekosistem maupun memperkuat kapasitas masyarakat pesisir.
"Dengan berakhirnya Proyek ATSEA-2 di bulan Desember 2024 ini, dan sebagaimana hasil dari Sydney Declaration yang telah dihadiri langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yang berakhir hanyalah fasenya. ATSEA masih akan tetap berjalan dan telah bertransformasi menjadi sebuah program dan memiliki mekanisme Tata Kelola regional," ucap Yayan.
Adapun Programme Manager Nature Climate Energy UNDP, Iwan Kurniawan mengungkapkan bahwa pihaknya terus membawa keahlian dalam mengintegrasikan konservasi dan pembangunan melalui jaringan global serta mekanisme pembiayaan inovatif, termasuk mendukung pengembangan perdagangan karbon biru berbasis mangrove dan lamun.
"Bersama pemerintah, UNDP siap memobilisasi panduan strategis dan keahlian teknis untuk pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan. UNDP juga membuka peluang kolaborasi dengan sektor swasta untuk investasi dalam solusi berbasis alam," jelas Iwan.
"Melalui hasil Proyek ATSEA, UNDP juga mengajak semua pihak mengoptimalkan potensi ekonomi biru dan perdagangan karbon biru guna mendorong pembangunan berkelanjutan, memperkuat mata pencaharian, dan menjadikan kawasan ini pemimpin global dalam aksi iklim dan konservasi laut," lanjutnya.
"Harapannya, program ATSEA-3 dapat berjalan lebih baik, dan berbagai 'pekerjaan rumah' yang ada dapat diselesaikan melalui program ini. Jika masyarakat pesisir sejahtera, itu menjadi indikator bahwa program ini memberikan manfaat nyata bagi ekosistem dan masyarakat terkait," ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPKRL), Kusdiantoro.