Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, memberikan dua syarat untuk bisa melakukan program pensiun dini PLTU batu bara. Pertama, adanya pihak yang mau mendanai, plus dengan bunga murah dalam jangka waktu panjang.
Bahlil mengaku, saat ini pihaknya kerap mendapat sorotan akibat komitmen pensiun dini PLTU yang seakan belum pasti. Menurutnya, itu lantaran pemerintah belum kuat secara modal untuk bisa melakukan itu, di tengah banyaknya program prioritas yang diusung kabinet Presiden Prabowo Subianto.
"Saya mau tanya, lembaga mana yang membiayai kita kalau kita pensiunkan sekarang? Kita sekarang mau pikir pensiun PLTU, atau kita mau bangun sekolah, atau membangun hilirisasi, atau mau bangun prioritas lain?" kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (3/2/2025).
"Kemahalan harga ini harus dikompensasikan kepada rakyat, atau negara. Nah, ini yang lagi kami menghitung," dia menegaskan.
Punya Sumber EBT Melimpah
Jika melihat hitung-hitungan secara ekonomi, Bahlil menyebut Indonesia sebenarnya punya kekayaan energi baru terbarukan (EBT) melimpah, mulai dari gas, solar panel/matahari, angin, air, panas bumi.
Dari beberapa modal tersebut, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) bisa jadi investasi dengan pengeluaran modal (capex) paling murah. Dengan masa pengerjaan paling cepat, yakni hanya 1 tahun 4 bulan sudah bisa beroperasi.
Menurut hitungannya, untuk membangun 1 Gigawatt (GW) listrik dari PLTGU itu membutuhkan 25 kargo gas alam cair (LNG). Dengan asumsi harga gas USD 10 per MMBTU, ia mengklaim negara butuh biaya hingga mencapai Rp 72 triliun.
"Jadi kalau kita sekarang merubah dari PLTU ke gas, per tahun 1 GW, itu sama dengan tingkat kemahalannya Rp 72 triliun. Pertanyaan kita sekarang adalah, apakah gas kita semua dipakai dibakar untuk listrik? Atau kita mau pakai untuk hilirisasi? Ini sekadar ilustrasi aja," bebernya.
Ikuti AS Keluar Paris Agreement
Lebih lanjut, Bahlil turut menyertakan komitmen Indonesia mengikuti Paris Agreement untuk mencapai net zero emission pada 2060, atau lebih cepat.
Pada prinsipnya, kata Bahlil, Indonesia setuju untuk menuju net zero emission. Namun, Pemerintah RI juga tetap melihat perkembangan global. Terlebih Amerika Serikat dibawah pimpinan Donald Trump baru saja keluar dari Paris Agreement.
"Mengelola negara ini jangan kita menari di gendang orang. Amerika sekarang lagi keluar daripada perjanjian Paris Agreement," seru Bahlil.
"Padahal mereka juga yang bikin ini Paris Agreement. Kalau ada yang sudah keluar, masa kita gas full terus? Boleh kita ikut, tapi kita hitung-hitung lah mana yang baik," tutur dia.
Pemerintahan Prabowo Tak akan Tutup Semua PLTU Batu Bara
Pemerintah akan membangun pembangkit listrik dari energi baru terbarukan untuk menjawab tantangan perubahan iklim. Dengan pembangunan pembangkit terbarukan ini, apakah PLTU batu bara akan dimatikan?
Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Pangan Hashim S Djojohadikusumo menjelaskan, pemerintah memiliki target untuk membangun pusat-pusat pembangkit listrik sebanyak 103 gigawatt. Dari jumlah tersebut, 75% akan diperoleh dari energi baru terbarukan (EBT).
Pembangkit terbarukan yang akan dibangun antara lain dari geotermal atau panas bumi, tenaga bayu, tenaga surya dan dari biomassa. "Di samping itu ada rencana pemerintah untuk membangun pembangkit tenaga nuklir, kalau tidak salah 4,3 gigawatt," jelas dia dalam ESG Sustainability Forum 2025, dikutip Senin (3/2/2025).
Ditargetkan akan ada dua sampai tiga pembangkit nuklir besar dengan kapasitas 1 gigawatt. Selain pembangkit dengan kapasitas yang besar, pemerintah juga akan membangun pembangkit nuklir dalam bentuk Small Modular Reactors yaitu pembangkit terapung.
"Ini semua untuk menjawab tantangan dari perubahan iklim," tutur adik dari Presiden Prabowo Subianto ini.
Hashim juga mengatakan, Pemerintahan Prabowo tidak akan menutup semua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan energi batu bara mulai 2040.
"Ada media salah mengutip Pemerintah Prabowo-Gibran akan menutup PLTU baru bara, itu tidak benar, itu salah kutip," jelas dia.
Menurut dia, Indonesia bunuh diri secaa ekonomi jika mematikan seluruh PLTU.
Oleh karena itu, pemerintah akan menyeimbangkan penutupan PLTU dengan pembangunan pembangkit dari energi baru terbarukan. Dalam targetnya, setelah 2040 tidak akan ada pembangunan pembangkit batu bara baru.
Menurutnya, tidak ada satupun negara di dunia yang akan menutup PLTU batu bara.