Liputan6.com, Jakarta Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional menyadari adanya tekanan dari negara maju terhadap kebijakan hilirisasi yang diambil oleh Indonesia.
Meskipun demikian, Satgas menegaskan bahwa hilirisasi tetap perlu dilanjutkan sebagai langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam (SDA) dalam negeri.
Sekretaris Satgas, Ahmad Erani Yustika, mengungkapkan bahwa sengketa global terkait kebijakan hilirisasi Indonesia merupakan hal yang tidak dapat dihindari.
"Hilirisasi memiliki potensi tinggi untuk memicu sengketa di tingkat internasional, termasuk melalui arbitrase. Ini terjadi karena kebijakan domestik yang kita terapkan sering dianggap merugikan kepentingan negara lain," kata Erani dalam Diskusi Hasil Riset Tantangan dan Implikasi Hilirisasi Mineral di Indonesia, di Jakarta, Senin (3/2/2025).
Contoh Kasus: Gugatan Uni Eropa Terkait Nikel
Salah satu contoh nyata adalah kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel yang diterapkan Indonesia sejak 2020. Kebijakan ini memicu gugatan dari Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hingga saat ini, proses banding masih berlangsung.
Erani menyadari bahwa gugatan serupa mungkin akan muncul kembali seiring dengan pelaksanaan hilirisasi mineral di Indonesia.
Negara-negara maju seringkali memandang kebijakan hilirisasi Indonesia sebagai upaya yang merugikan kepentingan mereka. Namun, Erani menegaskan bahwa hal ini tidak boleh menghentikan langkah strategis pemerintah.
"Kita harus terus melanjutkan hilirisasi, meskipun harus bersiap menghadapi perlawanan dan tantangan dari negara-negara maju. Ini adalah bagian dari proses yang harus kita hadapi dengan persiapan matang," ujarnya.
Proses Banding Gugatan Nikel di WTO
Wakil Menteri Perdagangan, Dyah Roro Esti, menyatakan bahwa Indonesia terus berupaya mempertahankan kebijakan hilirisasi nikel di hadapan WTO. Dia mengapresiasi kemenangan Indonesia dalam kasus sawit dan berharap hasil serupa dapat dicapai dalam kasus nikel.
"Kebijakan hilirisasi nikel sangat penting bagi Indonesia. Kami memiliki tim negosiator yang handal di WTO, dan kami yakin akan menemukan solusi terbaik untuk kasus ini," kata Roro di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, pada 17 Januari 2025.
Waspadai Potensi Ketimpangan
Selain tekanan global, Satgas juga menyoroti potensi ketimpangan yang mungkin timbul dari proses hilirisasi. Baik dari sisi investasi maupun dampaknya terhadap masyarakat di sekitar kawasan hilirisasi.
Erani menanggapi hasil riset yang menunjukkan potensi ketimpangan dalam proses hilirisasi. "Kita harus berhati-hati terhadap munculnya ketimpangan di berbagai level, baik dalam investasi maupun dampaknya terhadap masyarakat," ujarnya.
Salah satu catatan penting adalah potensi ketimpangan investasi antara perusahaan besar dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Hilirisasi seringkali membutuhkan modal besar dan teknologi canggih, yang mungkin sulit diakses oleh UKM.
Pemetaan dan Antisipasi Ketimpangan
Erani mengungkapkan bahwa belum ada riset yang secara spesifik menunjukkan fenomena ketimpangan tersebut. "Kita perlu segera melakukan pemetaan untuk melihat tingkat ketimpangan sebelum dan setelah hilirisasi di suatu wilayah," katanya.
"Jika ketimpangan melebar setelah hilirisasi, kita harus segera memetakan masalahnya dan mencari solusi untuk mencegahnya," tambahnya.
Erani menegaskan bahwa segala potensi ketimpangan perlu diantisipasi agar manfaat hilirisasi dapat dirasakan secara merata oleh investor, negara, dan masyarakat. "Jangan sampai keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh investor dan daerah, sementara masyarakat di sekitarnya justru mengalami dampak negatif. Ini bukan konsep pembangunan yang ideal," tegasnya.
Dengan langkah-langkah yang tepat, Satgas berharap proses hilirisasi dapat memberikan manfaat berkelanjutan bagi semua pihak, sekaligus menghindari potensi ketimpangan yang merugikan.