Digital Nomad: Mengapa Tren Kerja Remote Kian Populer?

1 day ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, tren kerja remote semakin berkembang pesat, terutama dengan munculnya istilah digital nomad. Yakni para pekerja yang mengandalkan teknologi untuk bekerja dari mana saja. Fenomena ini bukan hanya sekedar gaya hidup, tetapi juga mencerminkan perubahan mendasar dalam dunia kerja.

Beberapa hal yang menyebabkan tren ini semakin populer, antara lain kemajuan teknologi yang mendukung. Internet yang semakin cepat, alat komunikasi seperti Zoom dan Slack, serta sistem penyimpanan cloud seperti Google Drive dan Dropbox memungkinkan pekerjaan dilakukan dari mana saja. Dengan teknologi ini, pekerja tidak lagi terbatas pada ruang kantor fisik.

Fleksibilitas dan keseimbangan hidup. Banyak pekerja memilih kerja remote karena fleksibilitasnya. Mereka dapat menentukan jam kerja sendiri, mengatur ritme kerja yang lebih nyaman, dan menyeimbangkan antara kehidupan pribadi dan profesional dengan lebih baik.

Bersamaan dengan itu, ada efisiensi dan produktivitas yang meningkat. Beberapa penelitian menunjukkan bekerja dari rumah atau lokasi pilihan dapat meningkatkan produktivitas. Tanpa gangguan dari rekan kerja, perjalanan panjang ke kantor, atau meeting yang tidak perlu, pekerja dapat lebih fokus dan menyelesaikan tugas lebih cepat.

Bagi perusahaan, kerja remote mengurangi biaya operasional seperti sewa kantor, listrik, dan fasilitas lainnya. Sementara itu, bagi pekerja, kerja remote menghemat biaya transportasi dan makan siang di luar.

Bagi digital nomad, kerja remote membuka peluang untuk bekerja sambil menjelajahi berbagai destinasi. Kota-kota seperti Bali, Chiang Mai, dan Lisbon menjadi favorit karena biaya hidup yang relatif murah, komunitas digital nomad yang kuat, dan koneksi internet yang baik.

Semakin banyak perusahaan menyadari produktivitas tidak harus diukur dari kehadiran fisik di kantor. Perusahaan global mulai menawarkan kebijakan kerja remote, baik secara penuh maupun hybrid, untuk menarik talenta terbaik dari berbagai belahan dunia.

Kondisi di Indonesia

Di Indonesia, digital nomad kian populer sejak pandemi Covid-19. Saat itu, pemerintah memberlakukan pembatasan sosial, sementara banyak pekerjaan tetap harus diselesaikan. Sebagai solusinya, perusahaan memberi kelonggaran kepada karyawan untuk melakukan perkerjaannya dari rumah ata work from home (WFH).

"Jadi digital nomad di Indonesia ini sebuah fenomena atau tren sekitar berapa tahun ya belakangan. Terutama sejak pandemi, kerja remote ini banyak terjadi," kata Perencana Keuangan, Andy Nugroho kepada Liputan6.com, Jumat, 31 Januari 2025.

Meskipun menawarkan banyak keuntungan, kerja remote juga memiliki tantangan, seperti kurangnya interaksi sosial, yang bisa menyebabkan perasaan kesepian. Manajemen waktu yang sulit, terutama bagi mereka yang kesulitan membatasi jam kerja. Keterbatasan akses ke fasilitas kantor, seperti printer atau ruang rapat profesional.

Sejarah dan Perkembangan Digital Nomad

Konsep digital nomad mulai berkembang seiring dengan kemajuan teknologi internet dan komputasi mobile pada awal tahun 2000-an. Beberapa tonggak penting dalam sejarah digital nomad antara lain:

1983 - Steve Roberts melakukan perjalanan keliling AS dengan sepeda yang dilengkapi komputer, menjadi cikal bakal digital nomad

1997 - Tsugio Makimoto dan David Manners memperkenalkan istilah "digital nomad" dalam buku mereka

2006 - Tim Ferriss mempopulerkan konsep "The 4-Hour Work Week" yang menginspirasi banyak orang untuk bekerja secara remote

2008 - Peluncuran coworking space pertama di San Francisco

2010-an - Perkembangan teknologi cloud, smartphone, dan aplikasi produktivitas semakin mendukung gaya hidup digital nomad

2020 - Pandemi Covid-19 mendorong adopsi kerja remote secara massal

Saat ini, jumlah digital nomad terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut survei MBO Partners, jumlah digital nomad di AS mencapai 15,5 juta orang pada 2021, meningkat 42% dari tahun sebelumnya. Tren ini diprediksi terus berlanjut seiring dengan semakin banyaknya perusahaan yang menerapkan kebijakan kerja fleksibel.

Prospek Digital Nomad di Indonesia

Kendati begitu, Andy menilai sistem kerja ini memiliki prospek cerah. Dari sisi korporasi, bisa mendapatkan talenta berkualitas dari berbagai daerah dengan upah yang relatif bersaing dibanding sumber daya dari Jakarta atau kota besar lain. Asumsinya, upah yang diberlakukan mengikuti daerah pekerja berasal.

"Jadi kalau dari sudut pandang korporat, mereka akan bayar lebih murah untuk sektor pekerja-pekerja seperti itu. Dari sudut dari si para pencari kerja, yang mereka keuntungannya adalah pertama, mereka dapat bekerja di perusahaan-perusahaan yang bona fide (meski tinggal di daerah)," kata Andy.

Kedua, lanjut dia, pekerja ini tidak perlu repot-repot bermigrasi ke kota besar untuk bisa bekerja di perusahaan-perusahaan ternama. Sehingga, biaya hidup bisa lebih rendah.

Menurut Andy, tren yang terjadi sekarang adalah banyak orang yang mulai mempertimbangkan untuk bekerja di luar Jakarta, tetapi memiliki penghasilan minimal setara Jakarta.

Andy mengatakan, orang-orang mempertimbangkan kemacetan Jakarta, ritme kehidupan yang serba cepat, dan biaya hidup yang relatif mahal. "Buat beberapa orang kan enggak nyaman seperti itu. Dengan mereka tetap bekerja slow living, dengan pola kehidupan sehari-harinya, mereka sudah bisa bekerja di perusahaan-perusahaan yang lebih bona fide (dengan remote)," imbuh Andy.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |