Liputan6.com, Jakarta Setelah memutuskan penerapan tarif impor yang tinggi, Amerika Serikat terus memprotes kebijakan negara lain, salah satunya Indonesia. Kali ini, Amerika Serikat menyoroti sejumlah kebijakan di Indonesia yang dianggap berpotensi menghambat bisnis Indonesia-Amerika Serikat.
Hal ini dicantumkan dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis akhir Maret 2025. Dalam laporan tersebut dijabarkan bahwa sederet kebijakan yang berpotensi menghambat diantaranya penerapan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Kantor Perwakilan Dagang (USTR) menyoroti keberadaan Pasar Mangga Dua, Jakarta. Laporan USTR menyebutkan, bahwa pusat perbelanjaan di Indonesia ini menjadi sarang barang bajakan dan produk palsu.
USTR menyatakan bahwa Indonesia tetap berada dalam Priority Watch List berdasarkan Special 301 Report tahun 2024. Meskipun terdapat sejumlah upaya perbaikan oleh pemerintah Indonesia, seperti perluasan satuan tugas penegakan HKI dan peningkatan penindakan terhadap pembajakan digital, kekhawatiran besar tetap ada, terutama terkait pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek dagang baik secara daring maupun fisik.
Pasar Mangga Dua masih tercantum dalam Notorious Markets List 2024, bersama dengan beberapa platform e-commerce asal Indonesia. Penegakan hukum yang dinilai masih lemah menjadi salah satu alasan utama AS terus mendesak pemerintah Indonesia untuk memperkuat koordinasi antar-lembaga dalam hal penegakan hukum HKI.
“Pasar Mangga Dua di Jakarta masih tercantum dalam Tinjauan 2024 tentang Pasar Ternama untuk Pemalsuan dan Pembajakan (Notorious Markets List), bersama dengan beberapa marketplace daring asal Indonesia,” tulis USTR, dalam laporannya, dikutip Liputan6.com, Senin (21/4/2025).
Selain menyoroti pembajakan, USTR juga menyoroti penerapan QRIS yang diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21/18/PADG/2019 berpotensi membatasi ruang gerak perusahaan asing untuk bersaing di pasar pembayaran digital Indonesia.
"Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, menyampaikan kekhawatirannya karena selama proses penyusunan kebijakan kode QR oleh Bank Indonesia," tulis USTR.
USTR menjelaskan berdasarkan Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) mengharuskan semua transaksi ritel domestik menggunakan kartu debit dan kredit diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin dari BI.
"Peraturan ini menetapkan batas kepemilikan asing sebesar 20 persen bagi perusahaan yang ingin memperoleh lisensi switching untuk berpartisipasi dalam GPN, serta melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi ritel domestik dengan kartu debit dan kredit," tulis USTR.
Dalam laporan tersebut, USTR menilai para pemangku kepentingan internasional tidak diberi informasi mengenai perubahan yang mungkin terjadi maupun kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka mengenai sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang agar lebih selaras dengan sistem pembayaran yang sudah ada.
Bank Indonesia Merespon
Bank Indonesia (BI) memberikan tanggapan terkait sorotan yang disampaikan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap sistem pembayaran QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menegaskan bahwa penerapan sistem pembayaran seperti QRIS dan layanan pembayaran cepat lainnya selalu dilakukan dengan prinsip kerja sama yang setara dengan negara lain. Kerja sama tersebut akan dilaksanakan sepanjang negara mitra siap untuk menghubungkan sistem pembayarannya.
"Terkait dengan QRIS yang tidak spesifik menjawab yang tadi ya. Tapi intinya QRIS ataupun fast payment lainnya, kerjasama kita dengan negara lain, itu memang sangat tergantung dari kesiapan masing-masing negara. Jadi, kita tidak membeda-bedakan. Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa enggak?," kata Destry saat ditemui di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Senin (21/4/2025).
Destry juga menambahkan bahwa sejauh ini, sistem pembayaran yang berasal dari Amerika Serikat, seperti Visa dan Mastercard, tidak menemui kendala di Indonesia. Kinerja kedua layanan pembayaran tersebut tetap unggul di Indonesia, meskipun Indonesia kini telah memiliki produk GPN.
"Sekarang pun sampai sekarang kartu kredit yang selalu diributin. Visa, Master kan masih juga yang dominan. Jadi itu enggak ada masalah sebenarnya," jelasnya.
Sejarah QRIS, Apa Tujuan Dilahirkan?
QRIS adalah standar nasional kode QR untuk pembayaran digital di Indonesia yang diluncurkan BI dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) pada 17 Agustus 2019. Tujuannya adalah untuk menyatukan berbagai sistem pembayaran berbasis QR yang sebelumnya berjalan secara terpisah, seperti GoPay, OVO, DANA, dan LinkAja, agar lebih efisien, inklusif, dan aman.
Sebelum kehadiran QRIS, masing-masing penyedia layanan pembayaran memiliki kode QR sendiri, sehingga pedagang atau merchant harus menyediakan beberapa QR untuk melayani berbagai aplikasi. Hal ini menimbulkan ketidakefisienan dan menyulitkan pengguna. QRIS hadir sebagai solusi agar cukup satu QR Code bisa digunakan untuk semua aplikasi pembayaran digital yang terdaftar di sistem.
Implementasi QRIS dilakukan secara bertahap. Mulai Januari 2020, QRIS diwajibkan untuk semua penyedia jasa sistem pembayaran (PJSP). BI juga memberikan tenggat waktu adaptasi hingga akhir 2020 agar seluruh merchant dan penyedia bisa beralih ke sistem QRIS. Sejak itu, penggunaan QRIS terus meningkat, terutama di sektor UMKM, transportasi, hingga rumah ibadah.
QRIS tak hanya mendorong digitalisasi transaksi, tetapi juga mendukung inklusi keuangan dengan memudahkan pelaku usaha mikro untuk terhubung ke sistem pembayaran nasional. Selama pandemi COVID-19, QRIS menjadi alternatif transaksi tanpa kontak fisik yang membantu menjaga protokol kesehatan.
Pada 2023, Bank Indonesia meluncurkan QRIS Cross Border yang memungkinkan transaksi lintas negara dengan QR Code, dimulai dengan kerja sama regional seperti Thailand dan Malaysia.
Dengan prinsip CEPAT (Cocok, Easy, Praktis, Aman, Terpercaya), QRIS menjadi tonggak penting dalam transformasi digital ekonomi Indonesia, seiring dengan percepatan visi sistem pembayaran nasional yang modern dan inklusif.
Kemendag Merespon Laporan AS
Kementerian Perdagangan (Kemendag) turut buka suara terkait keluhan Pemerintah Amerika Serikat mengenai peredaran barang palsu di Pasar Mangga Dua yang dinilai melanggar hak kekayaan intelektual (HKI) produk asal Negeri Paman Sam.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia terus berkomitmen menegakkan kebijakan HKI secara konsisten.
“Ini memang menjadi hal yang rutin dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat melalui USTR yakni memantau situasi dan kondisi pelaksanaan kebijakan HKI di berbagai negara, termasuk Indonesia,” ujar Djatmiko dalam konferensi pers yang disiarkan pada Senin (21/4/2025).
“Jadi kita tidak luput dari pantauan tersebut. Pemerintah juga tetap berkomitmen menerapkan kebijakan HKI. Kawan-kawan di Direktorat Jenderal HKI juga terus melakukan tindakan penegakan hukum secara aktif,” jelasnya.
Djatmiko menuturkan bahwa Indonesia secara berkala menyampaikan perkembangan implementasi kebijakan HKI dalam berbagai forum internasional, termasuk di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa dan World Intellectual Property Organization (WIPO).
“Pemerintah tetap melakukan berbagai langkah konkret untuk menegakkan aturan terkait HKI,” tegasnya.
Curhat Pedagang Mangga Dua
Tak hanya Kemendag yang merespon, para pedagang di Mangga Dua turut mencurahkan isi hatinya mengenai laporan dari AS ini.
Dari reportase Liputan6.com di Mangga Dua Square, para pedagang memang sudah terbiasa menjual barang-barang impor yang mengatasnamakan merek ternama di dunia, mulai dari tas yang memakai merek Christian Dior, Miu Miu, hingga produk sepatu Nike atau Adidas dengan harga miring.
Seperti dikemukakan Adi, seorang pedagang tas dan koper asal Medan yang berjualan di ITC Mangga Dua. Ia mengaku bisa bertahan 10 tahun di tempat tersebut lantaran menjual sejumlah barang impor "branded".
"Terkhususnya di Mangga Dua, jualannya kan hidup gara-gara barang branded-nya. Kalau dibikin untuk barang lokal sih pasti enggak hidup, enggak bisa ngejual. 99 persen barang impor semua. Kalau misalkan itu ditindak, ya mau jualan apa lagi," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (21/4/2025).
Adi mengatakan, barang-barang jualannya didapat dari Hong Kong atau China daratan. "Kalau Hong Kong kebanyakan kayak koper-koper branded. Kalau tas-tas China," sebut dia.
Ia pun belum banyak mendengar isu soal Amerika Serikat yang menyoroti Pasar Mangga Dua. Dia lebih memikirkan penjualan barang di pusat perbelanjaan tempatnya berdagang yang kian hari semakin lesu.
"Gimana ya, mungkinnya di sini udah enggak ada yang berjualan lagi, udah enggak berfungsi lagi. Mau jualan apa lagi, bakal kosong," ungkap dia.
Beberapa faktor semisal kehadiran pasar online yang menjual barang serupa, hingga penurunan daya beli masyarakat jadi penyebab.
"(Pasar online) pasti juga ngaruh, pasti. Mungkin efek ekonomi juga. Ditambah lagi isu-isu seperti ini kan makin parah," kata Adi.
Tunggu Pemerintah RI
Berbeda dengan Adi, seorang pemilik kios yang menjual produk tas dan sepatu wanita bernama Yani mengaku sudah mengetahui sorotan Amerika Serikat terhadap Mangga Dua. Namun, ia belum bisa bersikap apa-apa dan menunggu reaksi dari Pemerintah RI.
"Ya enggak bersikap apa-apa sih, soalnya kan belum ada tanggapan dari pemerintah juga," kata Yani kepada Liputan6.com.
Lebih lanjut, ia turut mengamini kelesuan pasar yang tengah dideritanya. Bahkan momen tahunan seperti Lebaran 2025 kemarin pun tak bisa menggenjot angka penjualan.
Terbukti dari penjualan tas-tas impor dari China yang ditawarkan kiosnya, hingga brand tersendiri yang diproduksi oleh pabrik milik keluarganya. "Makin lesu sih ini, justru makin sepi sih Lebaran," ucapnya.
Kondisi Terkini Mangga Dua Square: Makin Sepi
Terpisah di Mangga Dua Square, beberapa pedagang tampak lebih memikirkan sepinya calon pembeli ketimbang sorotan dari Amerika Serikat.
Seperti diungkapkan Awi, yang menjual produk tas branded dengan harga miring. Daripada memusingkan permintaan Amerika Serikat, ia lebih menyoroti banyaknya kios yang tak lagi berjualan di sekitar.
"Lu liat semua tokonya tutup. Apa yang mau ditindak. Enggak gulung tikar aja sukur. Naik aja tiap lantai, semua tinggal toko, enggak ada yang jualan. Gimana mau ditindak. Mau makan aja susah," ucap dia kepada Liputan6.com.
Awi mengatakan, beberapa barang dagangannya memang didapat dari pihak importir. Namun, produk jualannya memang sudah kurang diminati akibat barang-barang yang dipasarkan online hingga adanya pandemi Covid-19.
"Memang malnya sepi. Karena semua sebab, online bisa, karena covid bisa," ujar dia.
Upaya Kedaulatan
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ikut menanggapi keluhan Pemerintah Amerika Serikat terkait kehadiran QRIS dan barang bajakan di Pasar Mangga Dua yang dinilai menghambat perdagangan RI-AS.
Sekretaris Jenderal HIPMI, Anggawira mengungkapkan bahwa dunia usaha di Indonesia memandang perlu ada penjelasan yang berimbang dan langkah diplomasi yang proporsional terkait laporan Pemerintah AS yang menyoroti QRIS dan peredaran barang palsu di Mangga Dua.
Namun, menurutnya, pengusaha justru melihat QRIS dan GPN bukan sebagai hambatan, melainkan upaya kedaulatan digital di sektor keuangan dalam negeri.
“QRIS dan GPN merupakan bagian dari upaya Indonesia membangun sovereign payment ecosystem yang inklusif, efisien, dan aman. Dunia usaha justru mengapresiasi langkah BI karena telah memperluas inklusi keuangan UMKM dan mempercepat digitalisasi ekonomi nasional,” ungkap Angga kepada Liputan6.com di Jakarta.
“Tudingan bahwa sistem ini tidak kompatibel dengan global payment system perlu dilihat secara adil, saat negara-negara maju juga mengembangkan sistem pembayaran domestik mereka (misal, India dengan UPI, China dengan UnionPay), Indonesia punya hak yang sama. Bila perusahaan asing ingin berintegrasi, BI terbuka selama prinsip keberlanjutan, keamanan data, dan keadilan ekonomi dijaga,” imbuhnya.
Bajakan Sudah Jadi Sorotan
Terkait peredaran barang bajakan/palsu yang dinilai mengganggu Hak Kekayaan Intelektual produk-produk AS, Angga melihat isu tersebut telah lama menjadi sorotan.
“Dunia usaha menginginkan ekosistem yang sehat dan kompetitif, dan peredaran produk ilegal jelas merugikan pelaku industri dalam negeri,” ucapnya.
“Namun penanganannya tidak bisa hanya dilakukan satu arah. AS perlu juga mendorong kerja sama teknis dan berbagi teknologi product authentication agar penegakan hukum kita bisa lebih kuat,” sambungnya.
Pemerintah Harus Apa?
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menegaskan sejumlah catatan ekonomi bawah tanah memang perlu dibenahi, namun bukan semata karena tekanan eksternal.
“Beberapa hal terkait TKDN dan underground economy memang merupakan PR besar kita. Dengan atau tanpa tuntutan dari AS, kita harus perbaiki, untuk meningkatkan daya tarik investasi dan melindungi produsen dalam negeri dari serangan produk ilegal atau selundupan,” ujarnya kepada Liputan6.com.
Namun, Wijayanto menegaskan Indonesia tidak harus tunduk pada semua desakan dari AS. Menurutnya, negosiasi adalah ruang tarik-menarik kepentingan, dan ada hal-hal yang merupakan bagian dari kepentingan nasional.
Adapun, terkait QRIS, Wijayanto menilai ini menyangkut national interest dan national security yang perlu dipertahankan.
“Sedangkan soal barang selundupan dan palsu, ini memang harus direspons secepatnya, bukan karena AS, tapi karena demi kepentingan produsen lokal kita,” tambahnya.
Kompromi Tetap Diperlukan
Sementara itu, Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, menilai bahwa dalam konteks hubungan perdagangan global, kompromi tetap diperlukan. Ia menekankan pentingnya prinsip take and give dalam perundingan.
“Tarif dan perizinan impor kita memang harus dinegosiasikan karena bagaimanapun juga Amerika Serikat merupakan kekuatan ekonomi, politik, dan militer. Yang penting adalah take and give, jadi kita tidak cuma memberi, tapi juga meminta berbagai kemudahan,” ujar Eddy kepada Liputan6.com.
Junarsin juga menyoroti pentingnya mengalihkan perhatian dari sektor perdagangan informal seperti Mangga Dua ke arah pengembangan teknologi dan inovasi. Ia mengusulkan pendekatan baru yang lebih produktif terhadap kawasan tersebut.
“Eksistensinya menjadi tanda tanya. Saya kira sudah saatnya bakat-bakat bagus Indonesia diarahkan ke R&D, invensi, inovasi, dan komersialisasi berbagai teknologi baru. Jadi, Mangga Dua bisa jadi Technology Center di Jakarta dan Indonesia dalam artinya sebenarnya,” jelasnya.
Pertahankan Tujuan Strategis Nasional
Mengenai TKDN dan QRIS, Junarsin menyarankan pendekatan fleksibel yang tetap mempertahankan tujuan strategis nasional namun cukup lentur untuk kebutuhan diplomasi perdagangan.
“TKDN dan QRIS perlu dipertahankan dan diperjuangkan dalam negosiasi. Misalnya, tingkat TKDN diturunkan menjadi X% untuk dua tahun ke depan, namun setelahnya TKDN dinaikkan ke angka semula. Ini hanya contoh dalam mekanisme negosiasi,” pungkasnya.