Bandingkan Harga iPhone Jika Diproduksi di AS dan China

1 day ago 8

Liputan6.com, Jakarta Ketika Presiden Barack Obama bertanya kepada mendiang CEO Apple, Steve Jobs, apakah iPhone bisa diproduksi di Amerika Serikat, jawabannya sangat tegas.

“Pekerjaan itu tidak akan kembali,” kata Jobs dalam jamuan makan malam bersama Obama pada 2011.

Kini, baik Presiden AS maupun CEO Apple telah berganti, namun ambisi menciptakan iPhone buatan Amerika Serikat masih menjadi sorotan.

Pemerintahan Donald Trump melalui kebijakan tarif impor menyebut bahwa AS memiliki sumber daya dan tenaga kerja yang cukup untuk merakit iPhone di dalam negeri. Meski begitu, CEO Apple Tim Cook belum pernah secara terbuka mendukung klaim tersebut.

Dikutip dari CNBC, Senin (14/4/2025), menurut para analis, ide iPhone "Made in USA" sulit terwujud dan jika dipaksakan, biayanya akan sangat mahal.

Wamsi Mohan dari Bank of America Securities memperkirakan harga iPhone 16 Pro bisa naik 25% hanya karena upah tenaga kerja, dari USD 1.199 menjadi sekitar USD 1.500.

Bahkan, analis Wedbush, Dan Ives, memprediksi harga iPhone bisa tembus USD 3.500 jika Apple memindahkan 10% rantai pasokannya ke AS, yang memerlukan investasi sekitar USD 30 miliar.

Mayoritas iPhone Dirakit di Tiongkok

Saat ini, lebih dari 80% produk Apple dirakit di Tiongkok. Dengan diberlakukannya tarif impor sebesar 145%, tantangan logistik dan biaya semakin berat.

Selain upah buruh yang jauh lebih tinggi di AS—sekitar USD 16,50 per jam dibandingkan hanya USD 3,63 di Tiongkok—AS juga kekurangan tenaga ahli seperti insinyur tooling yang dibutuhkan untuk merakit produk-produk canggih Apple.

Meski ada upaya sebelumnya, seperti investasi Foxconn senilai USD 10 miliar di Wisconsin, hasilnya minim. Proyek tersebut hanya menciptakan 1.454 pekerjaan dari target 13.000, dan pabrik akhirnya hanya memproduksi masker saat pandemi.

Sebagian komponen iPhone seperti chip dibuat oleh TSMC di Taiwan, layar oleh LG atau Samsung di Korea Selatan, dan komponen lain dari berbagai negara Asia. Artinya, merakit iPhone di Amerika Serikat tetap memerlukan impor komponen—yang terkena tarif tinggi.

CEO Apple Tim Cook Nego ke Trump

CEO Apple, Tim Cook, memilih pendekatan diplomatis. Selama pemerintahan Trump, Apple berhasil mendapat pengecualian tarif untuk produk-produk utama seperti iPhone. Apple juga berkomitmen investasi USD 500 miliar di AS, termasuk pembangunan fasilitas server AI di Houston.

Meski iPhone buatan AS penuh tantangan, analis memperkirakan Apple bisa memulai dengan memproduksi perangkat volume rendah seperti HomePod atau AirTags di AS, sebagai strategi negosiasi tarif dagang.

Apakah iPhone “berbendera Amerika” akan terwujud? Mungkin saja. Tapi seperti kata banyak analis, itu bukan perkara hari ini—melainkan proyek jangka panjang yang penuh risiko dan biaya besar.

AS Kalah Saing dari China soal iPhone

Di tengah dorongan pemerintah Amerika Serikat agar Apple memindahkan produksi iPhone ke Amerika Serikat, sejumlah pakar dan Apple ternyata menilai menilai hal itu nyaris mustahil dilakukan.

Alasan utama kesulitan itu adalah masifnya skala pabrik iPhone di China, yang tidak sebanding dengan infrastruktur dan tenaga kerja di Amerika Serikat saat ini.

Mengutip laman Times of India, Senin (14/4/2025), Apple diketahui mempekerjakan sekitar 700.000 pekerja pabrik di China, menurut Steve Jobs dalam kutipannya pada 2010 lalu.

Tidak cuma itu, Apple juga membutuhkan sekitar 30.000 insinyur on-site untuk mendukung kelancaran proses produksi iPhone.

"Jumlah insinyur sebanyak itu tidak bisa ditemukan di Amerika," ujar Jobs kepada Presiden Barack Obama kala itu, seperti yang terdapat dalam biografi karya Walter Isaacson. 

Menurutnya, China tidak hanya menyediakan tenaga kerja murah, tapi juga tenaga kerja terampil dalam jumlah besar dan dalam satu lokasi, dan ini merupakan sesuatu yang tidak dipunya AS.

Mengutip The Guardian, CEO Apple saat ini Tim Cook, juga menegaskan hal serupa.

Dalam wawancaranya dengan Fortune di 2017, ia menyebut ketergantungan Apple ke China bukan karena biaya, melainkan kualitas dan kuantitas tenaga ahli di satu tempat. 

Untuk itu, sejumlah analisis juga meragukan keyakinan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump soal kebijakan tarif dan investasi besar Apple akan mendorong relokasi produksi iPhone ke dalam negeri.

Butuh Waktu Bertahun-tahun

Laura Martin, analis senior teknologi di Needham, mengatakan transisi semacam itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, seperti yang terjadi di India yang baru mencapai 14 persen volume produksi iPhone setelah tiga tahun.

Mantan Menteri Perdagangan Trump, Howard Lutnick, sempat menyebut bahwa manufaktur iPhone bisa “dibawa pulang” ke Amerika Serikat, serta akan dijalankan secara otomatis oleh tenaga kerja lokal. 

Kendati begitu, para pakar menilai pernyataan tersebut tidak realistis mengingat kompleksitas dan kebutuhan sumber daya yang besar dalam produksi perangkat seperti iPhone.

Hingga kini, sekitar 85 persen produksi iPhone masih berasal dari China, dengan sebagian kecil mulai beralih ke India dan Vietnam.

Kendati demikian, China tetap menjadi pusat utama karena infrastrukturnya yang mendukung produksi dalam skala sangat besar dan cepat. Terlebih, di sana ada tenaga kerja dengan jumlah yang luar biasa besar.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |