Pensiun Dini PLTU Cirebon Batal, Menko Airlangga Ungkap Alasannya

11 hours ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon-1 dipastikan batal. Menurut Airlangga, PLTU Cirebon-1 masih memiliki usia operasional yang panjang dan telah menggunakan teknologi critical serta super critical yang dinilai lebih efisien dan ramah lingkungan dibandingkan sejumlah PLTU lainnya.

"Jadi, salah satunya ada pertimbangan teknis, karena Cirebon itu salah satunya yang umurnya masih panjang, dan teknologinya juga sudah critical, super critical, dan relatif, Itu lebih baik," kata Airlangg saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (5/12/2025).

Pemerintah bersama PLN kini tengah mengkaji PLTU lain yang dinilai lebih layak untuk dipensiunkan lebih awal dalam rangka program transisi energi. Fokus pencarian diarahkan pada PLTU berusia tua dengan teknologi yang kurang efisien serta berdampak lebih besar terhadap lingkungan.

"Sehingg nanti dicarikan alternatif lain yang usianya lebih tua, dan lebih terhadap lingkungannya memang sudah perlu di-retire. Alternatifnya PLTU juga," ujarnya.

Latar Belakang

Di sisi lain, muncul wacana PLN akan membantalkan pensiun dini PLTU Cirebon-1, karena biaya penalti yang harus dibayarkan selama lima tahun dinilai terlalu besar, mencapai sekitar Rp 60 triliun. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang keputusan PLN dilandasi oleh ketidakpastian akibat persetujuan tidak kunjung diberikan oleh pemerintah.

Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 dimulai di 2021 saat Indonesia menjadi bagian dari Energy Transition Mechanism (ETM) yang diluncurkan ADB bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani di Conference of Parties (COP26) di Glasgow.

Rencana tersebut dilanjutkan saat Indonesia menjadi Presiden G20 dan menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) di tahun yang sama. Rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 telah melalui proses kajian kelayakan teknis dan ekonomis, dan sejumlah kesepakatan antara PLN dan PT Cirebon Electric Power. Asian Development Bank (ADB) juga telah menyiapkan dukungan pembiayaan untuk pensiun dini ini, tetapi masih dinilai belum memadai oleh pemerintah Indonesia.

Pandangan IESR

IESR menilai bahwa apabila pemerintah tidak segera memfinalkan keputusan pensiun PLTU Cirebon, maka akan mengurangi kredibilitas negara dan memperburuk iklim investasi di Indonesia, karena langkah tersebut tidak selaras dengan komitmen yang dibuat Indonesia sendiri.

Selain itu, pembatalan rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 akan memperlambat transisi energi menuju dekarbonisasi di sektor kelistrikan Hal ini bertentangan dengan tujuan Presiden Prabowo yang ingin meninggalkan energi fosil sepuluh tahun dari sekarang, sebagaimana disampaikan pada pidato kenegaraan di DPR pada 15 Agustus 2025 lalu.

Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, menilai keengganan pemerintah dan PLN untuk mewujudkan pensiun dini PLTU batu bara menunjukkan kemunduran komitmen transisi energi. Adanya kekhawatiran terhadap biaya pensiun dini yang dianggap tinggi hanya melihat dari biaya kompensasi kontrak belaka dan tidak mempertimbangkan manfaat ekonomi yang lebih besar dari penurunan biaya polusi dan kesehatan publik.

Selain itu, biaya yang tinggi tersebut muncul karena kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah sendiri, yang hingga kini enggan dikoreksi. 

Keuntungan Ekonomi Jangka Panjang

Kajian yang dilakukan IESR menunjukkan bahwa pensiun dini PLTU sebelum 2050 justru memberikan keuntungan ekonomi jangka panjang dibandingkan membiarkan PLTU beroperasi hingga usia pensiun alami.

“Secara umum, biaya pensiun dini PLTU menjadi mahal karena struktur Purchase Power Agreement (PPA) PLTU, di mana terdapat klausul take or pay (TOP) yang membuat PLN harus membayar listrik pada tingkat kapasitas dan tinggi dan kontrak PPA selama 30 tahun, tiga kali dari waktu normal pengembalian investasi (payback period). Selain itu kebijakan domestic market obligation untuk batubara, membuat risiko harga bahan bakar ditanggung oleh PLN dan negara sehingga seolah-olah biaya pembangkitan listrik PLTU murah. Kebijakan ini juga membuat pembangkit energi terbarukan tidak dapat berkompetisi secara adil,” jelas Fabby.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |