Harga Minyak Anjlok ke Level Terendah dalam 4 Tahun

1 week ago 15

Liputan6.com, Jakarta Harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) ditutup di bawah USD 60 per barel pada perdagangan Selasa (Rabu waktu Jakarta). Ini menjadi level terendah dalam empat tahun karena para pedagang khawatir bahwa tarif besar-besaran Presiden Donald Trump akan memicu perang dagang global besar-besaran.

Dikutip dari CNBC, Rabu (9/4/2025) harga minyak mentah AS turun USD1,12 atau 1,85% menjadi USD 59,58 per barel, level terendah sejak April 2021. Sementara itu, patokan harga minyak mentah global Brent turun USD 1,39 atau 2,16% menjadi USD 62,82 per barel.

Harga acuan AS naik sekitar 1,7% di awal sesi, tetapi turun kembali karena tarif Trump terhadap China membayangi pasar. Harga minyak turun lebih dari 15% sejak Rabu lalu ketika Trump mengumumkan putaran baru pajak impor.

Kepala Strategi Komoditas Global RBC Capital Markets Helima Croft mengatakan, pasar minyak menghadapi “campuran racun” ketakutan akan resesi akibat tarif Trump dan keputusan OPEC+ untuk membawa lebih banyak barel kembali ke pasar, kata

“Saat ini orang-orang menunggu untuk melihat apakah ada potensi jalan keluar dari sengketa perdagangan ini,” kata Croft.

Tarif bea masuk AS terhadap Tiongkok akan meroket hingga 104%. Beijing tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur, dan bersumpah untuk “berjuang sampai akhir.”

Menteri Keuangan Scott Bessent pada hari Selasa mengatakan bahwa China sedang bermain di posisi yang kalah.

“Saya pikir eskalasi Tiongkok ini adalah kesalahan besar, karena mereka bermain dengan dua kartu,” kata Bessent.

“Apa ruginya kita jika China menaikkan tarif pada kita? Kita mengekspor seperlima dari apa yang mereka ekspor ke kita, jadi itu adalah kekalahan bagi mereka," tututp dia. 

Sri Mulyani Beri Peringatan Resesi AS, Harga Komoditas Global Siap-Siap Naik

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap sinyal kuat soal kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) yang sedang tidak baik-baik saja.

Berdasarkan laporan dari dua raksasa keuangan dunia, J.P. Morgan dan Goldman Sachs, kemungkinan Negeri Paman Sam akan masuk ke dalam jurang resesi kini semakin besar.

"J.P. Morgan, Goldman Sachs, semuanya mengatakan bahwa Amerika kemungkinan masuk ke resesi, probabilitanya sekarang naik ke 60%, dari tadinya di bawah 50%. Dengan outlook seperti itu, tidak heran maka commodity price menurun, karena nanti demand turun kalau terjadi resesi," kata Sri Mulyani dalam acara Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI: Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Nasional, di Menara Mandiri Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2025).

Menurut Sri Mulyani, dampanya resesi membuat permintaan global melemah, dan itu artinya harga komoditas pun ikut menurun.

Ini bisa terlihat dari harga minyak mentah dunia yang kini berada di kisaran USD 64-65 per barel jauh di bawah asumsi dalam APBN yang ditetapkan sebesar USD 80 per barel.

Ringankan Subsidi Pemerintah

Kondisi ini, kata Sri Mulyani, justru bisa jadi kabar baik dalam satu sisi: beban subsidi pemerintah menjadi lebih ringan. Di sisi lain, harga komoditas lain seperti CPO (minyak kelapa sawit) justru mengalami peningkatan, memberi angin segar bagi penerimaan negara.

Kemudian, untuk tembaga (copper) pun masih cukup stabil, meski nikel mulai mengalami penurunan harga.

"Moga-moga kita tetap jaga, ini juga membuat APBN kita menjadi relatively, menjadi berkurang tekanannya, meskipun nilai tukar kita agak di atas dari asumsi. Sementara CPO justru membaik, ini membuat penerimaan negara juga membaik. Copper juga masih relatif bagus, Nickel mengalami penurunan," ujarnya.

Selanjutnya, untuk batu bara harganya kini berada di bawah USD 100, hal ini menunjukkan tekanan yang cukup berat di sektor energi. Meski begitu, aktivitas manufaktur masih menunjukkan geliat positif. Ini terlihat dari PMI Manufaktur Indonesia yang tetap berada di zona ekspansi, yakni di level 52.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |