Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan kewajiban penerapan skema Co-Payment untuk semua produk asuransi kesehatan. Ketentuan ini diatur dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 mengenai Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan yang diterbitkan pada 19 Mei 2025.
Terkait hal ini, PT MSIG Life Insurance Indonesia Tbk (LIFE) atau MSIG Life menyatakan dukungannya terhadap penerapan skema co payment sebesar 10% dalam produk asuransi kesehatan.
Presiden Direktur MSIG Life, Wianto, mengatakan skema ini dapat berdampak positif terhadap pengendalian klaim dan menurunkan rasio klaim di pasar.
"Tapi yang pasti adalah satu, perusahaan mendukung co-payment 10%, karena dampaknya, dampak 10% ini akan berakibat kepada penurunannya claim ratio yang terjadi di market ini," ujar Wianto dalam Public Expose, Selasa (24/6/2025).
Wianto menjelaskan partisipasi pemegang polis dalam skema co payment akan mendorong perilaku yang lebih bijak dalam penggunaan asuransi kesehatan. Dengan adanya kontribusi pribadi sebesar 10%, nasabah akan lebih memperhatikan biaya yang dibebankan dalam setiap klaim.
"Karena ini akan membuat utilisasi atas claim kesehatan ini akan menjadi lebih terkendali karena adanya partisipasi dari pemegang polis yang terlipat. Jadi karena ada kontribusi pribadi 10%, tentunya pemegang polis atau nasabah pemegang claim akan melihat apa saja yang di-charge oleh ini. Sehingga itu akan membuat nanti ujungnya adalah claim ratio akan turun dan impact-nya adalah ke depan," jelasnya.
Premi Asuransi Kesehatan Bisa Lebih Terjangkau
Menurut Wianto, jika rasio klaim dapat ditekan, premi asuransi kesehatan berpotensi menjadi lebih terjangkau. Hal ini dinilai dapat memperluas akses masyarakat terhadap produk asuransi kesehatan. Ia menambahkan, penerapan skema co payment 10% bukanlah hal baru karena sudah diterapkan di luar negeri, meskipun di Indonesia skemanya dibatasi maksimal Rp3 juta.
Wianto menegaskan perusahaan terus berkoordinasi dengan asosiasi dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penerapan kebijakan ini. Menurutnya, implementasi co payment bisa berbeda di masing-masing perusahaan.
"Saya pikir untuk hitung-hitungannya terutama dengan 10% itu kita berkoordinasi ya tentunya dengan asosiasi dan OJK, jadi kita lagi menunggu ini sambil kita lihat ketentuan-ketentuan level asosiasi, bukan sendiri-sendiri," katanya.
Wianto menyampaikan bahwa MSIG Life sudah mulai melakukan persiapan, termasuk mendesain produk, memperbaiki produk yang sudah ada, serta menjajaki kerja sama dengan rumah sakit, khususnya terkait pertukaran data dan penguatan sistem IT.
Pengertian Skema Co-Payment di Aturan Baru Asuransi Kesehatan
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan asuransi kesehatan menerapkan pembagian risiko (co-payment) di mana pemegang polis, tertanggung, atau peserta paling sedikit menanggung sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim asuransi.
Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan yang diteken Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono.
Menengok lebih dalam, apa itu pembagian risiko atau co-payment?
Skema co-payment dalam asuransi kesehatan adalah mekanisme pembagian biaya antara peserta asuransi atau sering disebut pemegang polis dan perusahaan asuransi atas layanan medis yang digunakan.
Dalam skema ini, peserta diwajibkan membayar sebagian dari total biaya layanan kesehatan, sementara sisanya ditanggung oleh pihak asuransi.
Misalnya, jika biaya rawat jalan sebesar Rp 1 juta dan polis asuransi menetapkan co-payment 10%, maka:
Peserta membayar Rp 100.000 (10%)
Asuransi membayar sisanya Rp 900.000 (90%)
Tujuan Penerapan Co-payment:
Mencegah moral hazard, yaitu penggunaan layanan medis secara berlebihan karena semua ditanggung asuransi.
Mendorong efisiensi, agar peserta hanya menggunakan layanan yang benar-benar diperlukan.
Menekan lonjakan premi, karena risiko klaim menjadi lebih terkendali.
Peserta Asuransi Kesehatan Wajib Tanggung Biaya Klaim 10%
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Aturan ini akan berlaku mulai 1 Januari 2026 dan bertujuan memperkuat tata kelola serta perlindungan konsumen di industri asuransi kesehatan.
Langkah ini diambil OJK sebagai respons atas lonjakan inflasi medis yang terjadi secara global. Melalui aturan baru ini, OJK ingin mendorong efisiensi biaya layanan kesehatan jangka panjang serta memastikan layanan asuransi tetap terjangkau.
SEOJK 7/2025 mengatur lebih lanjut soal siapa saja yang bisa menyelenggarakan asuransi kesehatan, termasuk prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Aturan ini hanya berlaku untuk produk asuransi kesehatan komersial, dan tidak mencakup program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan.