Liputan6.com, Jakarta - Penutupan Selat Hormuz oleh Iran diklaim akan sangat berdampak terhadap sektor logistik nasional. Sehingga tidak hanya mengancam keterlambatan logistik, namun juga berpotensi mendongkrak harga minyak dan biaya lainnya.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners’ Association (DPP INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, konflik Iran vs Israel saat ini saja sudah berdampak pada operasional Selat Hormuz, sebagai satu-satunya jalur pelayaran internasional dari/ke Teluk Arab.
"Situasi ini menyebabkan lonjakan biaya asuransi kapal (war risk premium), pengetatan pengamanan, dan potensi keterlambatan pengiriman barang," jelas Carmelita kepada Liputan6.com, Selasa (24/6/2025).
Carmelita menyatakan, Selat Hormuz merupakan jalur laut strategis yang dilalui sekitar 20 persen dari total pasokan minyak mentah dunia. Ia lantas memberikan gambaran dampaknya seperti apa, jika wilayah perairan itu benar-benar ditutup oleh Iran.
"Bisa dibayangkan bila selat Hormuz diblokade, maka akan juga berdampak terhadap harga minyak dunia. Yang mana kalau kita lihat dalam kurun waktu satu minggu setelah eskalasi konflik, harga minyak tercatat meningkat sebesar USD 10-15 per barel," urainya.
"Sehingga ini akan berdampak pada terhadap logistik nasional, mengingat biaya operasional kapal lebih dari dari setengahnya adalah biaya bahan bakar. Sehingga dampaknya mungkin terbatas, tapi signifikan bagi logistik nasional terutama dari biaya bahan bakar tadi," tegasnya.
Satu-satunya Jalur Keluar Masuk Kapal
Mengutip kanal Cek Fakta Liputan6.com, Selat Hormuz merupakan jalur laut yang menghubungkan Teluk Oman dan Teluk Persia. Selat ini menjadi satu-satunya jalur keluar masuk kapal dari Teluk Persia menuju Samudra Hindia.
Selat Hormuz memiliki lebar hanya 54 km pada titik tersempitnya, namun perannya sangat vital dalam perdagangan global, terutama untuk minyak bumi. Sekitar 20 persen pasokan minyak dan gas alam dunia melewati selat ini setiap harinya.
Sebagian besar dari pasokan tersebut menuju ke negara-negara Asia antara lain Tiongkok, India, dan Jepang, yang sangat bergantung pada energi dari kawasan tersebut.
Antara awal 2022 hingga bulan lalu, menurut data perusahaan analitik Vortexa, diperkirakan sekitar 17,8 juta hingga 20,8 juta barel minyak mentah, kondensat, dan bahan bakar lainnya mengalir setiap hari melalui selat ini.
Negara-negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), seperti Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Irak, mengekspor sebagian besar minyak mentah mereka melalui selat ini, terutama ke wilayah Asia.
Beri Tekanan Langsung untuk Trump
Menutup Selat Hormuz memang memiliki keuntungan strategis, yaitu dapat menjadi cara untuk memberikan tekanan langsung kepada Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Tindakan ini akan memicu lonjakan harga minyak yang berdampak cepat terhadap inflasi, tidak hanya di AS, namun juga di seluruh dunia.
Namun, langkah yang sama pula akan menjadi bentuk kerugian ekonomi yang sangat besar bagi Iran sendiri. Lantaran, ekspor minyak Iran bergantung pada jalur yang sama.
Di lain sisi, menutup Selat Hormuz berisiko memicu keterlibatan negara-negara Teluk Arab—yang meskipun telah mengkritik keras serangan Israel—bisa terdorong masuk ke dalam konflik demi melindungi kepentingan ekonomi mereka sendiri.
Secara khusus, penutupan Selat Hormuz disebut akan sangat merugikan China. Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, China membeli hampir 90 persen ekspor minyak Iran, yang saat ini berada di bawah sanksi internasional.