SURVEI Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) merupakan inisiatif yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengukur prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kedua survei ini bertujuan memberikan data yang akurat dan komprehensif mengenai pengalaman hidup perempuan dan anak dalam konteks kekerasan.
Setiap tahun, ribuan kasus kekerasan dilaporkan, tetapi ada beberapa kasus yang mungkin tak terungkap karena stigma sosial dan ketakutan akan konsekuensi. Dalam konteks ini, SPHPN dan SNPHAR berfungsi sebagai alat vital untuk mengumpulkan data yang diperlukan guna memahami sejauh mana masalah ini terjadi. Dengan data yang akurat, pemerintah dapat merancang program intervensi yang lebih efektif untuk melindungi kelompok rentan ini.
Hasil dari survei-survei ini memberikan gambaran jelas tentang prevalensi kekerasan, jenis kekerasan yang dialami, serta faktor-faktor risiko yang ada. Dengan demikian, survei ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pengukuran tetapi juga sebagai dasar untuk pengambilan keputusan dalam kebijakan publik.
Di sini, kita akan membahas hasil terbaru dari SPHPN dan SNPHAR serta implikasinya terhadap kebijakan perlindungan perempuan dan anak di Indonesia.
Hasil Survei SPHPN dan SNPHAR 2024
Berdasarkan laporan terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), hasil SPHPN 2024 menunjukkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan berusia 15-64 tahun mengalami penurunan dari 9,4% pada 2016 menjadi 6,6% tahun 2024.
Penurunan ini mencerminkan keberhasilan intervensi pemerintah dalam menangani isu kekerasan terhadap perempuan. Survei juga menemukan satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidup mereka.
Sementara itu, hasil SNPHAR 2024 menunjukkan prevalensi kekerasan terhadap anak juga mengalami penurunan. Untuk anak laki-laki, prevalensinya turun dari 61,7% pada 2018 menjadi 49,83%, sedangkan untuk anak perempuan dari 62% menjadi 51,78%. Meskipun ada penurunan, angka-angka ini tetap menunjukkan banyak anak masih menghadapi risiko kekerasan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Data dari SPHPN dan SNPHAR sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menteri PPPA Bintang Puspayoga menekankan hasil survei ini akan digunakan sebagai dasar mengevaluasi efektivitas program-program yang sudah ada serta merumuskan kebijakan baru yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Hasil survei juga menunjukkan kekerasan berbasis gender online mengalami penurunan, terutama di kalangan perempuan usia 15-24 tahun. Ini menunjukkan upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan berbasis gender di dunia maya mulai membuahkan hasil.
Meskipun ada penurunan dalam prevalensi kekerasan, tantangan besar tetap ada dalam hal pelaporan kasus-kasus tersebut. Banyak korban merasa malu atau takut untuk melapor karena stigma sosial atau ketidakpercayaan terhadap sistem hukum.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi korban agar mereka merasa didukung untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialami. (Antara/Media Indonesia/Z-3)