REOG Ponorogo merupakan warisan budaya yang kaya akan makna, keindahan seni, serta sejarah yang mendalam. Tarian asal Ponorogo, Jawa Timur ini menjadi bagian identitas masyarakat setempat. Tidak semata sebagai pertunjukan seni dan hiburan, juga sarat nilai simbolis pandangan hidup dan budaya.
Bicara Reog, tidak lepas dari topeng Dhadak Merak yang dikenakan penari utama. Topeng ini digambarkan berkepala singa yang dihiasi bulu merak. Berat topeng ini mencapai 50-60 kg, menjadikannya salah satu topeng terbesar dan terberat di dunia.
Banyak orang mungkin bertanya bagaimana seorang bisa menari dengan mengenakan topeng yang begitu berat. Bahkan dinaiki oleh orang lain.
Rahasianya bukanlah mistik atau unsur magis, melainkan hasil dari latihan fisik yang intens dan desain topeng yang cermat. Topeng Dhadak Merak dirancang dengan prinsip keseimbangan fisika, di mana bagian kepala dan bagian merak saling menyeimbangkan, memungkinkan penari untuk mengangkat topeng tersebut meski ukurannya sangat besar dan berat.
Tokoh-Tokoh Reog
Setiap gerakan dalam tarian Reog menggambarkan lebih dari sekadar aksi fisik. Di balik setiap tokoh, terkandung makna filosofis yang mendalam. Salah satunya adalah Klono Sewandono, tokoh utama yang melambangkan seorang raja sakti mandraguna.
Dengan pusaka andalan berupa Kyai Pecut Samandiman, Klono Sewandono menampilkan gerakan tari yang lincah dan berwibawa, mengungkapkan kegagahan seorang pemimpin yang bijaksana. Gerakan tarinya bahkan menggambarkan keadaan emosional, seperti seorang raja yang mabuk asmara, yang menunjukkan bahwa dalam Reog, seni bisa mencerminkan kedalaman perasaan manusia.
Tokoh lainnya adalah Jathil, seorang prajurit berkuda yang menunjukkan ketangkasan dan keahlian berperang. Tari Jathil, yang awalnya diperankan oleh laki-laki dengan gerakan feminin, menggambarkan patriotisme dan keberanian dalam menghadapi musuh.
Di dalamnya terkandung nilai-nilai kepahlawanan dan kesiapsiagaan untuk menghadapi tantangan hidup. Perubahan dalam penari Jathil, yang kini diperankan perempuan, juga mencerminkan transformasi dalam budaya dan seni, sekaligus menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam seni bisa terus berkembang.
Warok, yang berasal dari kata "wewarah", adalah seorang yang memiliki tekad suci dan memberikan perlindungan tanpa pamrih. Karakter ini menekankan pentingnya budi pekerti, ketulusan, dan integritas dalam kehidupan. Warok adalah simbol dari masyarakat Ponorogo yang kaya akan nilai-nilai spiritualitas dan kebijaksanaan, diwariskan turun-temurun oleh leluhur mereka.
Seni Tari dengan Pesan Pendidikan
Reog Ponorogo tidak hanya menghibur, tetapi juga menyampaikan berbagai nilai pendidikan yang bermanfaat. Salah satu nilai penting yang terkandung dalam Reog adalah keimanan.
Sebelum pertunjukan, sering dilakukan ritual atau upacara memohon kekuatan dari roh harimau dan merak, yang dipercaya akan memberikan keberanian dan keindahan dalam pertunjukan. Ritual ini mengajarkan tentang ketundukan dan penghormatan terhadap alam dan kekuatan yang lebih besar.
Selain itu, Reog mengajarkan budi pekerti, dengan simbol kekuatan dan keindahan yang digambarkan oleh topeng harimau dan merak. Seni ini mengajarkan kekuatan fisik harus seimbang dengan keindahan batin dan moral yang luhur. Begitu juga dengan kepemimpinan, yang ditunjukkan melalui gerakan Klono Sewandono, mengajarkan tentang tanggung jawab, kebijaksanaan, dan keberanian seorang pemimpin yang adil dan bijaksana.
Reog Ponorogo juga mengandung nilai kewiraan yang dapat dilihat dalam tarian Jathil. Tari ini menggambarkan sikap patriotisme dan kesiapsiagaan, serta kesiapan dalam menghadapi tantangan hidup, baik itu secara fisik maupun mental. Lebih dari sekadar seni tari, Reog mengajarkan kepada kita untuk selalu siap menghadapi segala bentuk ujian hidup dengan keterampilan dan kecakapan yang matang.
Melalui tari Bujangganong, Reog juga mengajarkan tentang pentingnya kesabaran dan optimisme. Meskipun tampak lucu dan penuh sensasi, tarian ini memiliki pesan yang mendalam bahwa hidup ini tidak selalu mulus, tetapi dengan sikap optimis dan semangat yang tinggi, kita dapat menghadapinya dengan lebih baik. (ngawi-ngawi.desa/Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran/Z-3)