PENANGKAPAN Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah sekaligus calon gubernur petahana di Pilkada Provinsi Bengkulu, Sekda Isnan Fajri, dan ajudannya, Evriansyah, dalam operasi tangkap tangan KPK mengungkap ada politisasi birokrasi dalam pilkada (Media Indonesia, 26/11/2024).
Saat ini, seperti sudah tidak ada lagi rasa takut melakukan rasuah. Jangan-jangan, kasus Bengkulu hanya puncak gunung es, yang bukan tidak mungkin juga terjadi di wilayah-wilayah atau daerah lain. Mulai dari politik uang yang notabene menyuap pemilih, menyalahgunakan program bantuan sosial, hingga pemerasan. Pilkada yang sedianya menjadi ajang memilih calon terbaik kepala daerah dikotori oleh berbagai bentuk korupsi.
Minus kepublikan
Tajuk Rencana majalah Focus di Jerman berjudul Demokratie in Gefahr menyampaikan satu peringatan yang layak untuk direnungkan. Untuk pertama kali pada 2024, lebih dari separuh populasi dunia mengadakan pemilu nasional. Hampir dua miliar orang memberikan suara di lebih dari 70 negara.
Di sana, redaksi menyoroti dugaan pelanggaran aparatur negara untuk menjaga netralitas dalam pemilu di seluruh dunia. Di Asia, negara-negara demokrasi terbesar seperti Bangladesh, India, dan Indonesia telah mengadakan pemilu. India sukses secara ekonomi dan geopolitik di bawah kepemimpinan Narendra Modi, tetapi ia menoleransi chauvinisme anti-Muslim dan Penghapusan Perlindungan Institusional.
Afrika menjadi negara dengan pemilu terbanyak, tetapi masyarakat di sana semakin kecewa dengan cara kerja demokrasi. Kudeta menjadi fenomena umum. Sejak 2020, rezim baru merebut kekuasaan dengan kekerasan. Tiga dekade setelah African National Congress (ANC) pertama kali berkuasa setelah apartheid di Afrika Selatan, ANC akan dipilih kembali di negara yang dilanda korupsi, kejahatan, dan pengangguran.
Setelah menulis ulang konstitusi secara ilegal pada 2020, kemenangan Vladimir Putin untuk keempat kali di Rusia juga contoh nyata paradoks pemilu. Terbaru, terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat semakin menguatkan apatisme kaum antidemokrasi. Demokrasi tak hanya menghasilkan pemimpin jelek, tetapi juga bisa melanggengkan mereka untuk terus berkuasa.
Kasus Rohidin mungkin hanya salah satu saja yang ada di permukaan. Yang terjadi di bawah permukaan tentu jauh lebih banyak lagi. Hal ini mengingat praktik sejenis sudah lama terjadi dan menjadi tabiat oknum kepala daerah yang ingin terpilih pada lima tahun berikutnya. Mereka sudah lama menjadikan birokrasi sebagai mesin jarahan politik-ekonomi.
Para filsuf sejak lama mencurigai demokrasi. Plato salah satunya. Menurut Plato, demokrasi bukanlah sistem yang ideal, melainkan sistem politik yang memberi jalan bagi tiran untuk berkuasa. Filsuf asal Amerika Serikat dan Profesor di Harvard University, Michael Sandel, pada pertengahan September 2020 menerbitkan buku berjudul The Tyranny of Merit atau Tirani Meritokrasi.
Menurut Sandel, meritokrasi ialah kesadaran palsu (ideologi) yang diciptakan oleh demokrasi liberal dan telah menyingkirkan masyarakat kelas menengah dan buruh dari seluruh proses pembangunan. Kemarahan dan frustrasi yang dialami oleh kelompok sosial ini, kemudian dimanupulasi oleh para pemimpin populis dan mengungkapkannya dalam bentuk agenda politik antikelompok elite.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblat (2018) merumuskan ciri-cirinya dengan sistematis dalam satu karya yang segera menjadi klasik: How Democracies Dies. Menurut dua profesor Universitas Harvard itu, demokrasi bisa mati, antara lain, karena faktor agensi yang termanifestasi dalam diri seorang pemimpin yang menunjukkan perilaku antidemokrasi. Mereka kuasai wasit, ubah aturan hukum, tekan pesaing politik, dan mobilisasi sumber daya negara untuk kemenangan politik elektoral. Mereka menggunakan pelbagai institusi demokrasi untuk membunuhnya secara gradual, halus, dan bahkan legal.
Inilah yang kita risaukan akhir-akhir ini: demokrasi kita jauh dari stabil. Supremasi hukum pun roboh dan hampir mustahil dapat tegak di tengah tata kelola pemerintahan yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kita tersadarkan di ujung, ketika kerusakan demokrasi hampir sempurna. Ini mesti diantisipasi, karena konsekuensinya memengaruhi banyak perkara: dari kesejahteraan dan layanan untuk warga hingga tata kelola hidup bernegara.
Jangkar demokrasi
Operasi tangkap tangan Rohidin semakin menunjukkan pengaruh politisasi dalam birokrasi yang destruktif di Tanah Air. Di sisi lain, demokrasi kita memang belum mampu melahirkan perilaku politik yang berintegritas. Demokrasi masih dikelola dalam semangat posisi dan kekuasaan yang diraih antara lain dengan melakukan perburuan rente dan pemerasan. Akibatnya, transaksi politik terus mencederai demokrasi dan melahirkan korban-korban baru rakyat sepanjang waktu.
Kita berharap pemberantasan korupsi di era pemerintahan Prabowo Subianto benar-benar dijalankan. Keyakinan itu harus diaktifkan sepanjang pemerintahan ini konsisten dalam trayek pemberantasan korupsi tanpa masuk angin oleh kepentingan utang budi politik. Sambil berharap ke depan rakyat terus mengonsolidasikan dirinya menjaga kemurnian demokrasi dan pemberantasan korupsi.
Selain itu, dalam kepungan pragmatisme akut dan situasi yang tidak mudah, pers juga punya tugas mahaberat untuk tetap menjaga akal sehat dan demokrasi. Pers harus menjadi jangkar demokrasi dalam menjalankan agenda pembangunan, meningkatkan kualitas SDM, dan menguatkan intelektualisme masyarakat.
Negarawan Edmund Burke sangat tepat ketika menyebut pers sebagai pilar keempat (fourth estate) dalam demokrasi, di samping eksekutif, legislative, dan yudikatif. Pilar keempat ini kelak dinamakan publikatif. Sebagai salah satu penanda penting negara demokrasi, pers menjadi pertaruhan demokrasi. Ia bisa mati secara sempurna atau selamat dari kematian.