KOMISI Informasi Pusat (KIP) menilai pemerintah tidak transparan dalam rencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai tahun depan. Kendati penaikan tarif itu merupakan amanat UU, pemerintah tetap tak lepas dari kewajiban memberi penjelasan yang transparan kepada publik.
Komisioner Komisi Informasi Pusat Rospita Vici Paulyn mengatakan, kegagalan pemerintah dalam merespons protes masyarakat dan dunia usaha atas PPN 12% itu dapat berdampak luas dan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pengambil kebijakan.
"Kurangnya transparansi yang membuat masyarakat menjadi skeptis, menjadi kurang percaya terhadap pajak yang kemudian dikumpulkan oleh pemerintah," ujarnya dalam taklimat media di Jakarta, Senin (25/11).
Hal itu, sambungnya, amat disayangkan lantaran kebijakan tarif PPN memiliki dampak yang besar di kehidupan sehari-hari masyarakat. Secara umum, beban masyarakat akan meningkat dan pemerintah dipandang tak mampu memberi penjelasan dengan baik secara terbuka kepada publik.
KIP menilai pemerintah selama ini belum pernah secara terbuka menjelaskan secara rinci penerimaan dan pengelolaan PPN.
"Pemanfaatan uang masyarakat itu kerap luput disampaikan pemerintah. Pertanyaan masyarakat itu, manfaat dari pajak itu apakah bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Dalam bentuk apa? Itu yang harus dijelaskan pemerintah secara terbuka kepada publik," tutur Rospita.
Senada dengannya, Komisioner Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta Agus Wijayanto Nugroho mendorong pemerintah berinisiatif dan masif memberikan informasi yang jelas dan menyeluruh kepada publik.
"Pola komunikasi yang dibangun oleh badan publik terkait dengan isu PPN ini belum masif. Ayo <i>dong badan publik jelaskan, penaikan PPN ini rasionalisasinya untuk apa, terus kira-kira dampaknya kepada masyarakat langsung itu apa? Itu harus dijelaskan secara benar, akurat, dan tidak menyesatkan," ujarnya. (E-2)