PENYESALAN selalu datang di akhir. Tetapi penyesalan ini, ternyata berbuah manis.
Setidaknya demikian yang dirasakan Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Penghijauan Maju Bersama, Kasto Wahyudi.
Warga Dusun X, Desa Pasar Rawa, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara ini begitu menyesal, pernah menjadi bagian perambahan hutan mangrove di desanya. Gara-gara ulahnya ini, warga desa kehilangan mata pencaharian karena ekosistem di pesisir menjadi rusak.
Pria yang akrab disapa Wahyudi ini mengaku kerap menebang hutan mangrove untuk keperluan bisnis. Bagian batang dan akar pohon mangrove ditebang untuk dijadikan arang kayu.
“Dulu hutannya (mangrove) rusak karena ditebangi oleh masyarakat sendiri, dibuat jadi bahan baku arang. Hutannya sudah rusak sekali, kejadian di tahun 2004,” kata Wahyudi di saung KTH Penghijauan Maju Bersama, Dusun X, Desa Pasar Rawa, Kabupaten Langkat, Selasa (3/12).
Hal itu dikatakan Wahyudi saat media gathering yang digelar Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dan World Bank. Kedua lembaga ini membuat program Mangroves for Coastal Resilience (M4CR), sebuah aksi konservasi dan rehabilitasi mangrove.
Menurut Wahyudi, masyarakat setempat selalu gagal saat membudidaya ikan, kepiting dan udang di tambak. Alasannya yang dibudidayakan itu tak mampu bertahan di perairan tersebut. Karena hutan mangrove yang berfungsi sebagai penyerap kandungan racun, berkurang drastis.
Lantaran perbuatan Wahyudi, hutan seluas 178 ha itu semakin menipis. Warga setempat kemudian menanam mangrove kembali secara bertahap sejak 2005. Namun tujuan menanam mangrove kali ini bukan dijadikan sebagai habitat ikan, tapi untuk ditebang kembali sebagai bahan arang.
“Saya cerita apa adanya saja, niatnya dulu memang dulu mau ditebang pilih, karena kami tidak tahu ini programnya untuk apa, dan dulu di sini pemanfaatan mangrove sebagai arang, termasuk saya juga bandar arangnya tempo hari,” ungkap Wahyudi.
Namun setelah 10 tahun, Wahyudi kemudian berpikir ulang lagi. 'Sepertinya sangat sayang kalau yang sudah ditanami, ditebang kembali untuk arang,'' ujar Wahyudi,
Namun setelah mangrove tumbuh besar pada 2015, ekosistem di perairan payau tersebut perlahan pulih. Warga mulai menyadari bahwa mangrove berperan penting sebagai habitat ikan, mencegah intrusi air dan abrasi, penyerap karbon dioksida serta lainnya.
“Ternyata menanam dengan menebang itu sangat beda jauh, menebang hanya butuh waktu hitungan jam tetapi menanam dan tumbuh perlu waktu 10 tahun. Kami berubah pikiran ternyata sayang sebenarnya untuk ditebang lagi,” katanya.
Pada 2017, warga setempat mendapat surat dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Stabat, agar mengikuti program perhutanan sosial. Tahun 2018, warga setempat mengikuti program tersebut hingga akhirnya mendapatkan izin Kelompok Tani Hutan seluas 178 ha.
“Sekarang hutannya besar dan bagus, tidak ada penebangan lagi. Setelah izin keluar, kami beserta masyarakat kami membuat keputusan bawah dapur arang semuanya ditutup,” tegasnya.
Untuk memperkuat komitmen, Wahyudi bersama warga desa membuat kesepakatan baru berupa sanksi. Para penebang mangrove yang ditangkap, harus membayar denda ganti rugi.
“Kalau nanti ada yang nebang mereka akan kami tangkap dan denda, besaran dendanya itu kami buat yaitu saat menebang satu batang pohon maka dia menggantikan 1.000 batang bibit mangrove,” tuturnya.
--Ubah Pekerjaan
Setelah sudut pandang tentang mangrove terbuka, warga kemudian beralih pekerjaan. Mereka yang awalnya menebang mangrove untuk dijadikan arang, kini memanfaatkan kehadirannya tanpa harus merusak tanaman.
“Saat hutan sudah besar, rupanya sudah banyak biotanya seperti ikan, udang, kepiting. Kami kemudian sepakat membuat rumah-rumah ikan,” ucapnya.
Kata dia, hutan mangrove di wilayahnya semakin besar karena adanya peran Pemerintah Pusat saat 2020 dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Pada 2010, BRGM memberi pendampingan tata cara mengolah dan melestarikan mangrove, sekaligus membeli bibitnya dari masyarakat.
“Kami di BRGM diberikan pembibitan sendiri, nah pembibitan sendiri itu duitnya dibayar ke kami. Uangnya kami manfaatkan, salah satunya untuk membangun saung ini,” ujarnya.
Uang itu, kata dia, juga digunakan untuk membangun rumah ikan. Dia bersyukur, hutan mangrove yang semakin lebat justru membuat ekosistemnya semakin baik.
“Ini kami masih ada sisa uang lagi, kami belikan perahu kecil, kami beli alat tangkap ikan,” ucapnya.
Dari alat tangkap ikan itu, warga setempat mendapatkan ikan baronang. Oleh emak-emak setempat, ikan diolah menjadi makanan ringan yaitu Baronang Crispy.
“Ikan kecil-kecil (baronang) itu kami olah bersama ibu-ibu dari istri anggota kelompok untuk membuat Baronang Cripsy, ini dibuat secara otodidak,” tuturnya.
Dia menambahkan, keberadaan hutan mangrove ini sangat mengubah perekonomian masyarakat setempat. Dalam sehari, masyarakat setempat bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 100.000-Rp 200.000 dari budidaya ikan.
“Pendapatan kami saat ini lumayan besar pak, kalau dulu kan mata pencaharian kami dari arang kisaran Rp 50.000-Rp 70.000, tapi kalau sekarang bisa Rp 100.000 sampai Rp 200.000 per hari,” pungkasnya.
Sementara itu Sekretaris Desa Pasar Rawa, Siswanto menambahkan, KTH Penghijauan Maju Bersama pernah mendapatkan penghargaan ‘Warna Lestari’ dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2024. Bahkan Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Pasar Rawa juga mendapatkan penghargaan ‘Kalpataru’ dari Kementerian LHK pada 2021 lalu.
“Kegiatan penanaman mangrove ini menjadikan Desa Pasar Rawa dikenal di Kabupaten Langkat dan tembus ke tingkat nasional. Pak Wahyudi, Pak Rudi (Ketua LPHD Pasar Rawa) dipanggil Ibu Menteri LHK (Siti Nurbaya) untuk langsung mendapatkan penghargaan tersebut,” kata Siswanto.
Diketahui, KTH dan LPHD masuk dalam program M4CR, yang bertujun untuk merehabilitasi ribuan hektar mangrove. Lokasinya berada di empat provinsi, yaitu di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
Langkah ini dilakukan demi memperkuat ketahanan pesisir, mengurangi emisi karbon, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain berfokus pada pemulihan ekosistem mangrove, M4CR juga mendorong pemberdayaan ekonomi lokal melalui berbagai program berkelanjutan yang melibatkan masyarakat, mulai dari ekowisata, produksi kuliner lokal dan pelatihan pengelolaan sumber daya alam. (S-1)