PERKEMBANGAN teknologi informasi tidak hanya menawarkan berbagai manfaat dan kemudahan, tetapi juga berpotensi menjadi ruang terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak di ranah digital atau Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Menurut Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratna Susianawati, penggunaan media sosial atau medsos yang tidak bijak dan tanpa batas ditengarai menjadi cikal bakal terjadinya KBGO. Kemen PPPA pun terus memperkuat sinergi pentahelix untuk mencegah dan menangani isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk KBG0.
“Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2024, korban terbesar KBGO berada pada rentang usia 15-19 tahun, tetapi ada tren yang ditemukan bahwa usia 25-29 menjadi kelompok yang rentan menjadi korban KBGO. Namun demikian, prevalensi cenderung menurun dari 2021 di setiap kelompok umur (15-19; 20-24; 25-29; dan 30-40) untuk KBGO setahun terakhir. Fenomena KBGO ini yang terus kita cari solusi dan langkah afirmasinya untuk dilakukan bersama-sama,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati, pada Talkshow dan Dialog Interaktif Edukasi dan Literasi kepada Perempuan dalam Upaya Pencegahan Kekerasan di Ranah Digital, di Jakarta, Senin (25/11).
Lebih lanjut, Ratna menyebutkan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi regulasi yang sangat kuat dalam memastikan upaya pencegahan, penanganan, pelindungan, pemulihan, dan penegakan hukum terkait TPKS.
“Mudah-mudahan ini akan menjadi harapan, tidak hanya bagi korban kekerasan seksual, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil survei SPHPN Tahun 2024, 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan dan/atau selain pasangan selama hidup. Kondisi tingginya angka kekerasan seksual saat ini menjadi tantangan untuk semakin memperkuat implementasi UU TPKS ini,” kata Ratna.
Talkshow dan Dialog Interaktif Edukasi dan Literasi kepada Perempuan dalam Upaya Pencegahan Kekerasan di Ranah Digital dilaksanakan sebagai kick off Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) pada 25 November-10 Desember 2024 dan Peringatan Hari Ibu ke-96 pada 22 Desember 2024.
“Hari ini menjadi momentum memperkuat sinergi seluruh pihak karena kita masih dihadapkan pada permasalahan yang harus menjadi perhatian serius semua unsur stakeholder dalam upaya mencari solusi bersama penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tutur Ratna.
Dalam sesi talkshow, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Digital, Prabu Revolusi sepakat, perkembangan teknologi dapat memberikan harapan sekaligus ancaman bagi para penggunanya, termasuk perempuan dan anak. Prabu juga menggarisbawahi perlunya etika digital dalam penggunaan teknologi, terutama sosial media.
“Etika digital tidak bisa kita kendalikan. Kalau ada hal yang tidak kita sudah terkadang langsung kita komentari tanpa kita sadari karena kita tidak pernah diajarkan bahwa memberikan komentar negatif merupakan hal yang tidak sopan. Kedua, tidak pernah diajarkan bahwa efek dari digital adalah harus saring sebelum sharing. Kita tidak pernah diajarkan etika dalam menggunakan teknologi digital. Oleh karena itu urgent untuk mendesak digital ini diatur dan diajarkan ke kurikulum sekolah dasar,” ujar Prabu.
Dalam kesempatan yang sama, Psikolog Klinis Dewasa, Nuran Abdat menyebutkan terjadinya peningkatan korban KBGO yang melakukan sesi konsultasi di klinik tempatnya bekerja, sebagian besar adalah perempuan usia remaja atau dewasa muda yang foto atau videonya disebarluaskan tanpa persetujuan.
“Mayoritas dari mereka merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri (self blaming). Mereka ada yang mengalami depresi, post-traumatic stress disorder (PTSD), serta menghadapi trauma berkepanjangan dan hingga hari ini masih melakukan terapi. Efek psikologisnya sangat luar biasa,” imbuh Nuran.
Menurut Nuran, keluarga memiliki peranan yang sangat penting untuk dapat meminimalisasikan potensi seseorang menjadi korban KBGO. Pasalnya, apabila kebutuhan cinta anak tidak dipenuhi oleh orang tua atau keluarga, kekosongan tersebut berpotensi diisi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang dapat memicu terjadinya KBGO
“Kebutuhan cintanya tidak terpenuhi dari orang tua atau keluarga mengakibatkan mereka merasa tidak dicintai, merasa tidak dibutuhkan, dan merasa sendiri. Inilah yang membuat anak ataupun orang dewasa tidak memperhatikan perilaku redflags pasangan karena dirasa ialah satu-satunya yang mengisi tangki cinta, membuat merasa layak dicintai karena di rumah tidak menemukan makna dicintai,” pungkas Nuran.
Sementara menurut Nur Hasyim dari Aliansi Laki-Laki Baru menyatakan bahwa laki-laki harus menjadi bagian integral dalam upaya penghapusan kekerasan berbasis gender baik di ranah digital maupun non digital karena sebagian besar pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah laki-laki. Ketika laki-laki menjadi bagian persoalan kekerasan terhadap perempuan maka laki laki harus menjadi bagian dari solusi.
“Upaya pelibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dimulai dengan membuat laki-laki visible dalam perbincangan tentang kekerasan terhadap perempuan sehingga memungkinkan mempertanyakan mengapa laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan?” ujar Nur Hasyim. (H-2)