INDUSTRI komik Indonesia saat ini menurut Ketua Asosiasi Komik Indonesia (AKSI) Sunny Gho, tengah berada dalam tahap pondasi dan belum masuk ke fase industrialisasi yang memiliki sistem terpola. Meski sejak 2010-an hingga 2023 sudah terbit sekitar 1000 judul, sayangnya itu disebut Sunny belum bisa disebut sebagai pasar. Sebab belum ada pola replikasi tentang genre atau karakter komik seperti apa yang laku keras di pasaran. Hal itu diungkapnya saat berbicara dalam salah satu konferensi BEAST (Bengkel Animasi Creative & Digital Arts Festival) 2024 dari Bengkel Animasi, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, (24/11)
Dari sekian judul, ada beberapa yang sangat menonjol saat ini. Termasuk dapat menjadi kekayaan intelektual (intellectual property/IP) yang bahkan dapat merambah ke berbagai alih wahana seperti film hingga merchandise.
Misalnya saja, Si Juki, yang diciptakan komikus Faza Meonk. Sejauh ini, Si Juki sudah punya dua film layar lebar. Terakhir, filmnya mendapat Piala Citra FFI 2024 untuk film animasi panjang terbaik. Ada pula Tahilalats, yang kemudian menurunkan berbagai karakternya ke merchandise yang digemari banyak orang. Kemudian ada Vernalta, yang beken dengan salah satunya karakter Martin, si malaikat pencabut nyawa magang yang populer via media sosial.
Dalam observasi Sunny, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk bisa menonjol sebagai komikus yang memiliki IP komik di tengah banjirnya IP kreatif saat ini. Berikut rahasia sukses menjadi komikus menurut Sunny Gho, yang juga menjadi colorist untuk Marvel dan DC Comics.
1. Gercep
Menurut Sunny, IP-IP yang sukses itu bermula dari yang membuat gerakan pertama kali (first mover advantage). Mereka mampu mengidentifikasi platform mana yang sedang mendapat sorotan.
“IP lokal kita semua yang terkenal, biasanya karena kebetulan juga dia yang memanfaatkan platform baru tersebut. Misalnya Si Juki masuk ke Twitter dan Facebook yang dulu booming di era 2012-an. Tahilalats berhasil memanfaatkan Instagram. Pasutri Gaje itu masuk ke Webtoon duluan, dan ada Vernalta di Tiktok. Ini mereka semua aware bahwa ada platform-platform yang jadi pusat perhatian pada satu waktu tertentu untuk demografi tertentu,” kata Sunny Gho.
Untuk itu, menurut Sunny penting bagi kreator dan komikus untuk lebih sadar platform mana yang saat ini tengah menjadi trending dan fenomena massif. Menurutnya, dengan usaha yang sama tapi tempat di mana karya itu dipublikasikan, bisa menghasilkan kesuksesan yang berbeda.
2. Cerita Komikus Lebih Besar dari Karyanya
Salah satu yang juga menurut Sunny membuat Indonesia sulit membentuk industri komik, karena saat ini belum ada sistem yang dapat mendata pemeringkatan komik berdasar popularitas paling banyak dibaca atau paling laku.
Berbeda dengan misalnya di AS atau Jepang, ada pemeringkatan komik paling laku atau paling populer. Sehingga ketika ada industri lain yang mau mengalihwahanakan komik, tinggal menengok data tersebut.
“Di Indonesia tidak ada roda seperti itu. Akhirnya untuk bisa jual komik kita, agak sulit dibanding dengan negara-negara tersebut. Ketika mau menjual komik, kita harus bertarung dengan lautan komik termasuk dengan dari luar negeri tadi, dari Korea, Jepang. Di sini saya melihat personal branding yang bikin jadi garda utama buat jualan komik,” kata Sunny.
3. Format Kecil dan Pendek Lebih Baik
Karena berkaca dari industri di luar yang sudah mapan, biasanya ketika komikus atau kreator membuat komik, juga akan melihat bahwa kelak komiknya bisa diturunkan menjadi merchandise hingga diadaptasi ke film. Namun, untuk bisa membesarkan IP, butuh upaya yang sangat ekstra di Indonesia. Sehingga menurut Sunny, bisa dimulai dengan format yang lebih kecil dan pendek.
Misalnya, ia berkaca dari pameran yang dibuatnya, JICAF, di sana, banyak dari para kreator yang membuat karya hanya berdasar dari karakter. Karakter yang tengah dikembangkan bisa menjadi karya ilustrasi, menjadi merchandise seperti kaus, atau poster.
“Dengan begitu, ada kemungkinan untuk bisa lebih cepat mengembangkan IP. Tidak usah bikin panjang-panjang dulu, langsung jualan aja bisa langsung ketemu marketnya.
4. “Lupakan” Indonesia
Ini tentu jadi resep yang menarik. Menurut Sunny, untuk bisa sukses membesarkan IP di Indonesia, “lupakan” tentang Indonesia. Beberapa IP lokal yang sukses saat ini, seperti Coffe Talk, Coral Island, Owangeboy, mereka ‘melupakan’ ke-Indonesiaannya dulu.
“Hajar dulu market di luar, baru ke Indonesia. Toh akhirnya kalau memang marketnya belum ketemu di sini, coba saja keluar dulu, nanti juga bisa diterima di Indonesia,” kata Sunny.
5. Bangun Audiens yang Spesifik
Meski populasi Indonesia sangat besar, tetapi Sunny memandang skala pasarnya tak sebesar populasinya. Sebab itu, saat ini banyak kreator dan komikus yang bikin komik justru ditujukan untuk audiens yang spesifik.
“Misal pengen komiknya cuma untuk dijadikan film yang ditujukan untuk ke sutradara tertentu. Karena memang kita belum punya industri dan ekosistem yang melekat. Pada akhirnya, network memainkan peran penting.” (M-3)